"Pingsan. Dadanya memar hitam, seperti bekas terbakar. Kakang Jaya Usada diperintah kakang  Sona Wana  mengobatinya."
"Baiklah. Tunggu aku ganti pakaian. Maaf aku tadi marah padamu. Aku lagi nyenyak tidur kau bangunkan."
"Semua cantrik semalam tidur nyenyak. Bahkan mereka yang bertugas jaga." Kata cantrik itu.
"Sirep. Pasti Sirep !! Ada yang membuat kita terlena."
Namun mereka tak melanjutkan pembicaraan tentang sirep yang membuat semua isi padepokan kehilangan kewaspadaan semalam. Hati mereka lebih tertuju pada kekawatiran terhadap guru mereka yang masih pingsan.
Setelah tabib itu ganti pakaian, dan meraih kotak kayu wadah obat-obatan, ia segera keluar gubugnya. Â Mereka bergegas mengayunkan langkah kakinya ke balai utama padepokan. Semua cantrik yang berkerumun mengelilingi Ki Singa Lodhaya menyibak, memberi kesempatan Jaya Usada tabib padepokan itu memeriksa keadaan ki Singa Maruta.Â
Tabib itu tercengang saat menyaksikan jalur hitam pada dada gurunya. Kulit yang gosong bekas terbakar itu segera ia balur dengan minyak yang ia bawa.Â
"Kulit ini tidak apa-apa, meski nampak hitam seperti baru terbakar. Setelah berulang kali aku olesi minyak kura-kura ini tentu kulit beliau akan segera pulih."
"Jika tidak apa-apa kenapa beliau pingsan ?" Salah seorang cantrik bertanya. Cantrik-cantrik lainnya mengangguk-angguk ikut penasaran ingin tahu.
"Lihat bekas usapan warna merah yang samar-samar membayang di sekitar mulutnya. Â Tentu beliau berulang kali muntah darah, lantas beliau usap dengan lengannya. Berarti guru mengalami luka di bagian dalam dadanya."
Sona Wana mengamati raut wajah gurunya. Di sekitar mulutnya nampak warna semburat merah bekas darah yang diusap. Ia mengangguk- anggukkan kepala.