Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab 28: Desa Balitar (Cersil STN)

10 Juni 2024   15:25 Diperbarui: 10 Juni 2024   15:35 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah makan siang bersama dengan Sembada, dan menyilahkan Sembada beristirahat di kamar tamu depan rumah lagi, Ki Wangsa Jaya duduk di serambi belakang ditemani anaknya.

Saat itu adalah kesempatan bagi Ki Wangsa Jaya menjajagi hati putrinya. Ia ingin tahu apa tanggapan putrinya atas pemuda yang telah diperkenalkan padanya.

"Gendis, apa pendapatmu dengan Sembada ?"

"Maksud ayah ?"

"Yah sebagai gadis apakah kau tidak punya pendapat terhadap seorang pemuda seperti Sembada ?"

"Ohhh. Ia gagah dan tampan."

"Hanya itu. Gagah dan tampan saja ?"

"Iya. Memangnya harus saya katakan apa ayah ?"

"Yah, apakah kau tidak tertarik andai dia jadi suamimu ?"

Tiba tiba Gendis Manis tertawa.

"Hahaha. Kenal juga baru beberapa saat ayah. Masa harus sejauh itu berfikir ?  Apalagi dia seorang pendekar."

"Memangnya kenapa dengan seorang pendekar ?"

"Aku ingin kelak hidup keluargaku tentram ayah. Tidak selalu dirundung rasa waswas. Seperti pagi tadi, saat ayah menjajagi ilmu kakang Sembada. Bahkan terdengar suara ledakan keras dari sanggar. Membuat aku gemetar."

Ki Wangsa Jaya merenung sejenak. Selama ini ia tidak mempedulikan perasaan anaknya. Ia sering melakukan kesukaannya bertanding olah kanuragan, meskipun itu dilakukan demi persahabatan. Setiap ada temannya berkunjung ia selalu lakukan kegiatan itu, sebagaimana saat jadi prajurit selalu gladen.

"Dalam jiwa pendekar sering kali tumbuh naluri berkelana, mengembara. Konon untuk mengabdikan diri demi keselamatan rakyat, kesejahteraan umat manusia. Memberantas kejahatan. Itulah sebabnya pendekar punya banyak musuh. Jika ia berhasil membunuh penjahat, ia boleh bangga, dielu elukan masyarakat. Tapi tanpa sadar ia menanam benih dendam di hati orang orang dekat bekas musuhnya yang terbunuh itu. Mungkin orang tuanya, saudaranya, temannya, saudara seperguruannya, atau entah siapa lagi. Suatu saat mereka bisa datang dan menantang bertarung. Tidak seperti ayah sekedar perkelahian persahabatan, tetapi perang tanding antara hidup dan mati. Sebagai wanita aku tidak ingin memasuki keadaan hidup semacam itu ayah."

"Terus suami yang bagaimana yang kamu inginkan ?"

"Seorang pemuda petani yang ulet mengolah lahannya dan tekun memelihara ternaknya. Pemuda begitu tak akan pernah meninggalkan rumah, ia terikat pekerjaannya. Kemungkinannya kecil punya musuh. Wanita yang jadi isterinya akan tenang hatinya tidak dirundung rasa waswas. Mereka akan hidup tentram ayah."

"Ternyata impian hidupmu berbeda jauh dengan impian hidup ayah.  Pikiran dan hati ayah masih terbelenggu oleh impian prajurit kecil saat muda. Bagi ayah keperwiraan dan kesaktian itu bekal utama mencapai kebahagiaan hidup. Dengan bekal itu derajatnya akan merangkak naik. Jika beruntung ia akan jadi punggawa kerajaan yang disegani."

"Apa karena itu ayah tertarik dengan Kakang Sembada untuk menjadikannya menantu ayah ?"

"Yah. Sembada memiliki semua syarat itu. Keperwiraan dan kesaktian. Ia juga dipercaya oleh Gusti Senopati Narotama untuk menyelesaikan tugas yang berat. Jika ia berhasil, tidak hanya disegani oleh banyak orang karena ia pendekar tangguh dan hebat, tetapi kelak ia pasti menduduki jabatan terhormat jika perjuangan Pangeran Erlangga berhasil."

"Ayah mimpi terlalu tinggi. Ada satu hal lagi yang menyebabkan aku sulit selalu dekat dengan Kakang Sembada, ayah."

"Apakah itu ?"

"Sorot mata Kakang Sembada seperti sorot mata harimau."

"Itu pertanda bahwa ia menyimpan daya sakti dalam tubuhnya"

"Itu bagi ayah. Bagiku tidak ayah, sorot mata itu akan selalu mengingatkanku pada riwayat kematian ibu. Tidakkah ayah ingat, ibu meninggal karena diterkam harimau.  Saat itu kami mengikuti ayah berdagang dan terpaksa berkemah di tengah hutan ? Seekor harimau mendatangi kita. Aku benar benar takut melihatnya. Mata hewan itu bercahaya, persis sorot mata kakang Sembada. Sebelum para pengawal bertindak, hewan itu dengan cepatnya beraksi, ia menerkam bunda. Meski harimau itu akhirnya mati, tapi bunda terlanjur luka parah. Beliaupun akhirnya meninggal. Itulah alasanku menolak pilihan ayah. Ia akan selalu mengingatkan tragedi kematian bunda." 

Ki Wangsa menundukkan kepala. Ia tidak mengira bahwa Gendis Manis memiliki pertimbangan yang rumit seperti itu. Namun ia tidak bisa menyalahkannya. Apalagi memaksakan kehendaknya kepada satu satunya putrinya itu.

Barangkali karena mendengar pandangan Gendis Manis, ketika esok paginya Sembada pamit hendak melanjutkan perjalanan, Ki Wangsa tidak menahannya. Gendis Manis ikut ayahnya mengantar Sembada hingga regol halaman.

"Terima kasih Ki Wangsa dan kau Gendis, atas semua pelayanannya selama ini."

"Baiklah Sembada, pangestuku semoga kau selamat."

"Jangan segan bertamu kesini lagi kakang. Aku tidak punya saudara. Kehadiran kakang seperti ketemu kakak bagiku."

"Demikian juga aku Gendis, kau seperti adikku."

Akhirnya mereka berpisah.

Sembada kembali mengulang masa lalunya. Menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Namun tidak seperti ketika belum ketemu ki Ardi, jarak seribu depa terasa sudah jauh. Sekarang dengan ilmu peringan tubuh, jarak puluhan ribu bisa ditempuh dalam waktu singkat.

Namun Sembada memilih jalan biasa saja. Sambil menikmati pemandangan yang terasa indah dipandang pagi itu. Jarak desa Wates sampai Balitar tidak terlalu jauh, sehari perjalanan akan sampai. 

Dua kali ia mampir kedai. Untuk makan siang dan sekedar membasahi tenggorokan. Tak ada aral melintang di tengah perjalanan.

Menjelang matahari tenggelam ia telah sampai di regol masuk Desa Balitar.  Ia segera menyisih ke pinggir jalan ketika enam ekor kuda berjalan cepat sekali. Keenam orang berkuda itu mengenakan pakaian yang sama, mungkin mereka berasal dari sebuah padepokan. Sembada menutup hidungnya karena debu yang menyebar oleh kaki-kaki kuda itu.

Enam lelaki itu sama sekali tak menoleh kepada Sembada. Mereka terus memacu kudanya dengan kencang. Barangkali mereka juga hendak pergi ke padepokan Singa Lodhaya.

Sembada tetap berjalan pelan. Ia tidak merasa perlu tergesa gesa. Ia masih butuh keterangan tentang letak padepokan lodhaya, dan arah tempat itu dari Desa Balitar.

Ketika waktu sudah memasuki saat sepi bocah, Sembada telah sampai di ujung Desa Balitar. Namun ia heran, nampak dari jauh ada kerumunan orang, yang kelihatannya sedang menyaksikan sesuatu. Sembada bergegas mengayun langkahnya.

Dari kejauhan ia sudah memastikan, bahwa orang orang yang berkerumun itu sedang menonton sebuah perkelahian. Terdengar teriakan-teriakan marah beberapa orang, dan denting senjata beradu. Sembadapun kian bergegas ingin menyaksikan perkelahian itu pula.

Diterangi beberapa obor di halaman kedai yang cukup luas, seseorang dikeroyok enam orang lelaki kekar. Keenam orang itu pasti mereka yang berkuda yang mendahului Sembada di jalan. Mereka berseragam seperti pakaian yang dilihat Sembada. Mengapa mereka mengeroyok seseorang ? Siapakah yang dikeroyok itu ? Benar-benar membuat Sembada penasaran.

Mendengar suara teriak-teriakannya Sembada memastikan yang dikeroyok adalah seorang gadis. Ia gunakan pedang rangkap untuk melawan keenam musuhnya. Kepalanya tertutup caping bambu, mukanyapun ditutup cadar hitam, sama warnanya dengan baju dan celana gadis itu.

Namun yang sangat mengherankan seolah gadis itu tidak serius meladeni lawan lawannya. Meski musuhnya dengan keras dan beringas hendak membinasakannya. 

Meski demikian gerakan gadis itu sangat mengagumkan.  Ia sangat gesit dan cepat. Tenaganyapun kuat. Terbukti setiap benturan senjata, musuhnya yang justru goyah mempertahankan senjatanya. Padahal kedua pedang gadis itu tipis dan lentur sekali.

"Nah, bukankah kalian tak mampu menangkapku ? Jika diteruskan aku bisa membinasakan kalian semua. Tak peduli kalian berasal dari perguruan mana." Kata gadis itu.

"Persetan. Jangan sombong. Sebentar lagi kau jadi tawanan di padepokan lodhaya."

"Kalian murid Singa Lodhaya ?"

"Yaaa. Kami cantrik-cantrik di padepokan itu."

"Haha ternyata cantrik-cantrik Singa Lodhaya kemampuannya tak lebih dari genjik genjik hutan Lodhaya."

Keenam orang itu amatlah marah. Mereka meningkatkan serangan-serangannya. Lebih cepat keras dan beringas. Namun gadis itu seperti tidak mengalami kesulitan apa apa. Dengan ilmu peringan tubuhnya yang matang, ia bisa melontarkan tubuhnya kesana kemari menghindari serangan musuhnya. Justru enam orang itulah yang merasa kebingungan. Mereka sering kehilangan arah kemana lawannya yang seorang itu berada.

"Aku sudah jemu dengan pertempuran ini." Teriak si gadis.

"Kalau begitu menyerahlah. Kau tentu mata mata yang hendak mengawasi padepokan kami."

"Tadi kau hendak menangkapku karena aku gadis. Sekarang kau tuduh aku mata-mata."

"Yaa dua-duanya. Kau gadis mata-mata. Oleh karena itu harus ditangkap.  Untuk kami tawan, sekaligus pemuas kesenangan kami dipadepokan."

"Kurang ajar. Kau telah melukai hatiku. Sudah berani melecehkan aku sebagai wanita. Kau layak mendapatkan hukuman. Tapi aku tak berminat membunuh kalian. Namun hanya titip tanda kenangan."

Tiba-tiba gadis itu memutar pedang rangkapnya seperti baling-baling. Sebentar kemudian ia berteriak nyaring dan melompat menyerang musuh-musuhnya dengan ganas. Terdengar teriakan kesakitan susul menyusul bersamaan kelebat sepasang pedang yang menggores dada enam orang lelaki kekar itu. Terlihat goresan luka yang melintang di dada mereka, darahpun segera mengucur. 

Sejenak kemudian terdengar suitan. Sambil menekam luka mereka enam laki-laki kekar itu lari, kemudian melompat di atas kuda yang mereka tambatkan dipinggir jalan.

Tiba-tiba salah seorang dari enam lelaki kekar itu dikejutkan oleh seseorang yang bercadar pula merebut pedangnya. Kekuatan lelaki itu luar biasa, sehingga cantrik padepokan itu tak mampu mempertankan pedangnya.

Lelaki yang menutupi sebagian mukanya itu setelah mendapatkan senjata pedang lantas menghampiri gadis yang masih termangu di bekas tempat pertempuran tadi. Ia mengacungkan senjatanya kepada si gadis dan mengancam hendak menyerangnya.

"Jangan jumawa mampu mengalahkan enam cucurut padepokan Lodhaya. Lagakmu melukai pendekar manapun yang melihat pertempuranmu. Aku datang untuk menjajagi ilmumu, bersiaplah."

Tiba-tiba lelaki itu menyerang dengan dashyatnya. Dengan cepat ujung pedangnya meluncur kearah dada si gadis. Namun gadis itu bukanlah wanita lemah, dengan cepat dan trengginas ia mengelak dengan menggeser tubuhnya kesamping dengan cepat pula. Kemudian pedang di tangan kirinya berkelebat kearah tengkuk bersamaan lompatan setengah lingkaran mendekati lawannya. Lelaki itu buru-buru menjatuhkan dirinya ke depan, untuk melepaskan diri dari ujung pedang si gadis. Ketika punggungnya menyentuh tanah, badannya dilipat menjadi sebuah lingkaran, sehingga ia menggelinding dengan cepat menjauh.

Sebentar kemudian terjadilah pertempuran yang cepat dan keras. Dengan ilmu peringan tubuh yang sama-sama matang keduanya berlaga di udara, seperti dua ekor rajawali jantan yang berebut wilayah. Kadang mereka turun di tanah melanjutkan pertempuran yang sengit dan seru.

Para penonton sangat takjub menyaksikan pertempuran mereka. Termasuk sepasang kakek nenek yang baru datang melihat pertempuran itu. Ketika si nenek hendak melerai pertempuran itu, si kakek mencegahnya.

"Jangan dulu. Biar keduanya saling menjajagi dulu. Sudah lama mereka tidak bertemu dan berlatih bersama."

"Siapakah dia ? "

"Kakak seperguruannya dulu. Murid padepokan Cemara Sewu. Pewaris cambukku, Nagageni. Rupanya iapun sudah tahu keberadaan payung keramat itu."

"Ohhh, kisah lama terulang kembali. Seperti pertama kali kita bertemu. Mengadu kesaktian dulu."

"Hahaha. Kau masih terus mengingat hal itu rupanya. Kenangan yang tak akan terlupakan."

Keduanya tersenyum.

Di arena pertempuran terus berlangsung. Namun karena tenaga gadis itu telah terperas sebelumnya, ia sedikit mengalami kelelahan. Lelaki lawannya terus mendesaknya. Seolah tidak ingin memberi kesempatan lawannya bernafas.

Gadis itupun marah. Ia melontarkan tubuhnya jauh ke belakang. Ketika kakinya sudah menjejakkan kaki di tanah, segera kedua tangannya memutar pedangnya seperti baling baling. Pertanda ia telah sampai pada puncak kemarahan, dan hendak gunakan ilmu pamungkasnya, Garuda bersayap pedang.

Namun keburu dua orang kakek dan nenek melerainya.

"Cukup Arum. Jangan kau bangkitkan tenaga saktimu." Kata si nenek keras.

"Hentikan Sembada. Lawanmu adik seperguruanmu sendiri." Kata si kakek.

"Aku sudah tahu Ki Ardi. Aku hanya ingin menjajaginya."

Gadis itu segera menghentikan geraknya. Dan ketika ia mendengar suara Kakek Ardi menyebut nama Sembada segera ia sarungkan kedua pedangnya. Iapun lari menghampiri bekas lawannya bertempur.

Ketika gadis lawannya bertempur berlari kearahnya tanpa senjata, Sembada segera membuang pedangnya pula. Ketika sudah dekat, tiba tiba gadis itu melompat dan memeluk leher Sembada sembari menciuminya. Ia tidak pedulikan semua orang yang melingkari mereka menontonnya.

"Kakang tega meninggalkan aku berlama lama." Kata gadis itu.

"Sudah-sudah Arum. Kita dilihat banyak orang."

"Biarin. Mereka tidak merasakan betapa aku sangat rindu padamu, kakang."

Sembada menangkap kedua pundak gadis itu. Dan mendorongnya menjauh sedikit. Agar tidak terus menciumi dirinya. Nampak kedua mata gadis itu basah oleh air mata. Dengan lembutnya Sembada mengusap kedua mata dengan ujung jarinya.

"Sudah, kita sudah bertemu sekarang."

Gadis itu tersenyum. Ia segera memandang ke sekelilingnya. Betapa banyak orang melihatnya sambil tersenyum. Iapun merasa malu dan menundukkan kepala.

Segera Sembada menggandeng gadis itu masuk kedai. Rumah makan itu belum juga tutup. Pemiliknya ikut menyaksikan pertempuran di halaman kedainya.

Pemilik kedai itu bergegas menyuguhkan minuman. Ia tahu sepasang pendekar muda itu kehausan.

"Terima kasih. Bapak tahu kalau tenggorokan kami kering."

Pemilik kedai tersenyum.

"Silahkan minum."

Akhirnya Ki Ardi dan guru Sekar Arumpun masuk pula ke kedai.

"Sepertinya kalian bukan hanya saudara seperguruan. Tapi diam diam kalian saling mencintai." Kata Nyai Rukmini, guru Sekar Arum.

"Ahhh, guru." respon Sekar Arum nampak merah mukanya.

Orang-orang yang berkerumun menyaksikan pertempuran di halaman itu akhirnya bubar. Sebentar saja halaman itu telah sepi. Ki Ardi akhirnya usul, agar Sembada ikut dulu ke tempat mereka menginap.

Setelah Sekar Arum membayar makanan yang ia makan sebelum datang enam cantrik padepokan Lodhaya ke kedai itu, empat orang itu bergegas mengayunkan langkah menuju sebuah goa tempat persembunyian mereka.

"Tempat ini aman. Jauh dari padepokan Lodhaya. Juga jauh dari pemukiman penduduk. Dari sini kami pergantian melakukan pengamatan." Kata Ki Ardi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun