Sembada segera mengikat kudanya pada pohon perdu di pinggir jalan. Ia lantas bergabung para pengawal dengan sepotong kayu dari dahan yang ia patahkan dari sebuah pohon..Â
Sejenak kemudian terdengar teriakan-teriakan puluhan orang yang keluar gerumbul-gerumbul perdu hutan itu. Semua telah menggenggam senjata. Ada yang bawa pedang, tombak, canggah, trisula bahkan sepasang bindi.
Seorang lelaki pendek kekar memimpin mereka. Sembada sudah hafal dengan orang itu. Dialah Trembolo, anak buah Gagakijo. Di sampingnya seorang tinggi besar, dialah Wadasgempal.
"Hahaha menyebar. Kepung rombongan ini. Jangan bunuh para wanitanya. Libas habis para pengawal."
Anggota gerombolan itupun menyebar. Mengepung para pengawal yang melingkari gerobak-gerobak barang.Â
"Menyerahlah. Percuma kalian melawan. Jumlah kami dua kali lipat dari kalian." Kata Trembolo lantang.
"Persetan dengan jumlah kalian. Kami tidak akan menyerah. Majulah, jika ingin merasakan tajamnya pedang kami."
"Keras kepala. Bangkai kalian akan jadi santapan anjing-anjing liar di sini. Serbuuu".
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang riuh. Dentang senjata beradu dibarengi teriakan-teriakan bahkan juga umpatan dan makian anggota gerombolan. Sembada sudah tidak lagi kaget dengan perilaku mereka, ia telah berulangkali bertempur dengan orang-orang jahat anak buah Gagakijo.
Rupanya para pengawal rombongan pedagang itu cukup tangguh. Meski rata-rata harus menghadapi dua orang lawan namun belum ada tanda-tanda mereka terdesak.
Ada beberapa anggota perampok yang berusaha naik gerobak. Namun tiba-tiba satu persatu terpelanting. Kemudian muncullah lelaki berpakaian mewah dengan tangan menggenggam pedang. Lelaki itupun lantas melibatkan diri dalam pertempuran yang seru itu. Dengan tangkasnya ia menyerang empat orang perampok yang mengerubutnya.
Sembada juga meladeni dua orang bersenjata tombak dan pedang. Namun ia tidaklah merasa kesulitan meski hanya bersenjata kayu. Bahkan ia telah berulang kali berhasil menggebug punggung lawannya.
Pemimpin pengawallah yang agak mengalami kesulitan. Trembolo dan Wadasgempal mengeroyoknya. Kemampuan dua orang anak buah Gagakijo itu memang di atas rata-rata anggota gerombolan yang lain. Kekasarannyapun demikian pula.
"Kau pasti mampus duluan. Menyerahlah. Aku hanya menginginkan isi gerobak itu. Bukan nyawa kalian."
"Langkahi dulu nyawaku. Baru kau bisa bawa gerobak itu."
"Kau memang anak iblis. Aku minta baik-baik malah cari mampus."
Dua orang itu lantas melibat pemimpin pengawal dengan serangan-serangan yang berbahaya. Namun dengan tangkas dan lincahnya ia masih mampu bertahan.
Pertempuran di hutan Waringin Soban itu kian lama kian sengit. Tidak hanya keringat yang telah membasahi tubuh, namun darahpun telah menetes dari luka yang menganga karena pedang lawan.
Sembada agak mencemaskan keadaan para pengawal. Tenaga mereka terkuras harus menghadapi dua bahkan ada yang tiga lawan. Setangguh apapun mereka pasti akan kelelahan, dan perlawanan mereka akan segera mengendor.
Namun ia masih ragu-ragu untuk menyatakan diri dengan seluruh kemampuan dirinya. Jika mungkin ia akan bertempur seperti para pengawal saja.Â
Tiba-tiba seorang anggota perampok keluar dari lingkaran pertempuran. Ia berlari menuju kuda Sembada yang ditambatkan. Dengan cepatnya ia melepas tali yang tertambat di dahan pohon. Dengan lincahnya ia meloncat ke punggung kuda dan menggebraknya agar hewan itu lari meninggalkan medan.
"Anak muda kudamu dibawa lari."seorang pengawal memberi tahu Sembada. Sembadapun menengok kudanya. Seorang lelaki kerempeng membawa lari kuda. Segera ia melompat menghindari musuh-musuhnya, dan berlari mengejar kudanya. Sepotong kayu di tangannya ia lempar kearah lelaki kerempeng pembawa kudanya. Namun dengan tangkasnya lelaki itu merapatkan badannya ke punggung kuda. Kayu itu melayang tak menyentuh badannya.
Sembadapun segera mengerahkan ilmu peringan tubuhnya. Beberapa saat kemudian lelaki kerempeng pembawa lari kudanya terpelanting. Seutas tali berkarah baja runcing melingkar di lehernya, dengan sekuat tenaga Sembada menariknya dari belakang. Terdengar jerit ngeri, lelaki itu jatuh di tanah dengan leher hampir putus. Darah menyembur deras dari leher itu, tubuhnya mengejang-ngejang sekarat.
Sembada tak memperdulikannya. Ia terus berlari mengejar kudanya. Dengan sekali lompat tubuhnya melayang hinggap di punggung kuda.
Segera ia tarik tali kekang kuda itu. Sang kudapun meringkik dan berdiri tegak. Sembada tetap menempel di punggungnya. Setelah kuda itu meletakkan kaki depannya ketanah segera Sembada memutar arah lari kuda itu. Tangkai cambuk nagageni tergenggam erat di tangannya.
Ketika ia melewati tubuh yang terkapar di jalan bersimbah darah, Sembada turun dari punggung kuda. Ia lepaskan kuda itu untuk melihat keadaan lelaki itu. Setelah memeriksanya ternyata lelaki pembawa kudanya telah jadi mayat. Tak ada udara keluar masuk hidungnya.
"Maafkan aku kisanak. Tak ada niat aku membunuhmu. Namun hanya mencegah kau membawa kudaku. Jika akibatnya seperti ini sepenuhnya bukan salahku." Kata Sembada lirih.
Ia mengusap wajah lelaki yang telah tewas itu. Â Matanya yang masih terbuka ia tutup dengan usapan tangan. Â Kemudian Sembada berdiri dan melangkah meninggalkannya. Â Ia melompat ke atas punggung kuda dan menghela hewan itu mendekati lingkaran pertempuran yang masih menyala.
Sembada benar-benar kaget. Â Para pengawal yang gigih menjalankan tugasnya itu kini terdesak. Â Banyak anggotanya yang sudah terluka dan berdarah-darah. Â Ia kagum dengan tanggung jawab yang tetap dipegangnya, tidak mau lari meninggalkan gelanggang. Itulah yang membuat Sembada mengambil keputusan untuk segera melibas para perampok.
Segera ia hela kudanya memasuki lingkaran pertempuran. Â Cambuknya berputar-putar dan meledak-ledak. Â Ketika dua orang anggota perampok mendekatinya segera mereka terpelanting dan bersimbah darah. Â Kedua orang itu dadanya menganga panjang oleh luka ujung cambuk Sembada.
Melihat itu beberapa orang datang mengeroyoknya. Â Tiga orang dengan kasarnya menyerang Sembada. Â Namun ketiganyapun segera menggeletak di tanah tak bergerak. Â Ketika tak ada lagi yang berani mendekatinya, Sembada melarikan kudanya memutari lingkaran pertempuran itu, sambil melecutkan cambuknya kearah orang-orang yang sedang bertempur dengan para pengawal. Â Ada yang hanya kehilangan pedangnya saja, namun ada pula yang langsung tersungkur karena ujung cambuknya. Â Malang bagi para perampok yang kehilangan pedangnya, nyawanya juga tidak selamat. Â Karena para pengawal memamfaatkan kesempatan itu untuk melibasnya dengan sabetan-sabetan pedang.
Sembada melihat pedagang pemilik barang yang bertempur dengan empat orang. Â Ia kagum dengan kemampuan lelaki itu. Â Meski usianya sudah cukup tua namun ia mampu melayani kekasaran empat anggota gerombolan Gagakijo. Â Namun kondisinyapun sudah memrihatinkan. Â Tangannya nampak sudah terluka dan darah menetes jatuh ke tanah.
Sembada segera menerjangkan kudanya kearah dua orang lawan pedagang itu. Â Mereka tak sempat menghindar hingga tubuhnya terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Â Dua orang itu mengumpat kasar. Â Saat hendak berdiri dan mengangkat pedangnya lagi Sembada melecutkan cambuknya menghantam dada dan punggung mereka. Â Sekali lagi mereka terpelanting dan jatuh untuk tidak bangun lagi.
Pedagang itu memanfaatkan waktu sejenak saat kedua lawannya yang masih ada tercengang melihat teman-temannya dibantai Sembada. Â Dengan cepatnya ia menggerakkan pedangnya untuk menyerang lawan-lawannya. Â Sebuah sabetan pedang menyobek perut lawannya dan sabetan yang lain membelah punggungnya. Â Dua orang itupun rebah ke tanah untuk tidak bangkit lagi.
Trembolo dan Wadasgempal melihat kehadiran anak muda yang bersenjata cambuk di atas kuda itu. Â Ingatannya segera melayang kepada anak muda yang pernah dikeroyoknya di dusun Suwaluh untuk mengambil sekantong uang hadiah baginya memenangkan lomba ketangkasan berkelahi di depan balai desa Sambirame. Â Ia masih ingat pula ada pendekar bercambuk yang menyelamatkan para pengawal kademangan Majaduwur, saat gabungan gerombolan perampok yang dipimpin Gagakijo menyerang kademangan itu. Â Bahkan Gagakijo dan Kelabangireng kedua-duanya terluka arang kranjang pada tubuhnya saat melawannya.
Ingat semuanya itu ia segera mengambil keputusan agar anak buahnya tidak habis dilibas pendekar itu. Â Iapun meloncat mundur meninggalkan lawannya, diikuti oleh Wadasgempal yang berperilaku serupa. Â Sejenak kemudian terdengar suitan yang panjang sebagai pertanda agar anak buahnya segera melarikan diri.
Sembada mendengar suitan itu. Â Iapun tahu Trembolo yang melakukannya. Â Maka ia gerakkan kudanya untuk memburu Trembolo dan Wadasgempal. Â Namun dua orang itu cukup cerdik, mereka berlari berpencaran masuk lebatnya hutan. Â Akhirnya Sembada hanya mampu menyerang anak buahnya yang terlambat sekejab melarikan diri. Â Malang bagi mereka cambuk Sembada berhasil menjerat kaki mereka. Â Mereka jatuh tengkurab mencium tanah. Â Para pengawal yang berada di belakang segera menghabisinya dengan tusukan pedang.
Sembada masih mengejar dengan kudanya ke dalam hutan yang cukup padat itu. Â Laju perjalanannya agak terhambat karena rapatnya pepohonan. Â Sebentar kemudian terdengar suara panah sendaren dari arah medan pertempuran tadi. Â Tentu pimpinan pengawal memerintahkan anak buahnya kembali, tidak mengejar terus anggota gerombolan itu. Â Sembadapun akhirnya memutar kudanya untuk kembali.
Ketika ia keluar dari gerumbulan perdu hutan itu hatinya kaget.  Beberapa orang berdiri menyambutnya, dan dengan takjimnya  memberi hormat kepadanya.  Dua lelaki berdiri di barisan terdepan adalah pimpinan pengawal dan lelaki tua pedagang itu.
"Hormat kami kepada tuan pendekar. Â Kami berterima kasih sekali telah mendapatkan pertolongan tuan."
"Maaf paman. Â Tak patut paman memberi hormat kepadaku. Â Akulah yang lebih muda seharusnya memberi hormat kepada paman-paman sekalian." Â Kata Sembada setelah meloncat dari punggung kuda.
"Tidak anak muda. Â Kamu sudah menyelamatkan nyawa kami. Â Jika tidak kami semua pasti tewas. Â Musuh terlalu banyak dan kuat bagi kami. Â Jika tidak kamu bantu tentu kami pasti kewalahan menghadapinya."
"Baiklah paman. Â Kita bersyukur masih diberikan umur panjang. Â Mari kita rawat saudara-saudara kita yang terluka."
"Iya iya anak muda. Â Mari kita rawat mereka segera." Â Kata pimpinan pengawal. Â Barulah kerumunan yang mengerubunginya bubar dan berjalan ke arah korban-korban pertempuran.
Sembada menambatkan kudanya pada sebatang pohon perdu di pinggir jalan itu. Â Iapun lantas bergabung dengan para pengawal untuk mengumpulkan korban-korban pertempuran. Â Ada tiga orang pengawal yang tewas, lima orang terluka parah dan sisanya terluka ringan. Â Anggota gerombolan yang tertinggal semua tewas, jumlahnya tujuh belas orang. Â Rata-rata mereka terluka oleh cambuk Sembada pada dada, perut atau pahanya. Â Namun luka cambuk itu tidaklah terlalu dalam, ia hanya melumpuhkannya dari peperangan. Â Namun bekas luka tusukan pedanglah yang mengakhiri hidup mereka. Â Atas kenyataan itu Sembada tidak bisa menyalahkan para pengawal. Â Mereka tentu marah karena sebagian temannya juga tewas dalam pertempuran itu.
Setelah mengumpulkan teman-temannya dan mengobati mereka yang terluka, mereka terpaksa juga mengumpulkan korban-korban dari pihak lawan. Â Mereka tidak bisa membiarkan pergi begitu saja. Â Karena rasa kemanusiaanlah mereka akhirnya menguburkan mayat-mayat itu di tempat terpisah. Â Satu-satu mayat pengawal dibuatkan lubang pemakaman sendiri-sendiri. Â Kemudian memberi tanda jika suatu saat keluarganya ingin mencari. Â Namun bagi para korban dari anggota gerombolan perampok itu dikubur dalam satu lubang yang besar. Â Tujuh belas orang bertumpuk tumpuk kemudian ditimbun dengan tanah.
Setelah kerja yang melelahkan itu mereka istirahat sejenak. Â Nampak matahari sudah jauh turun di barat. Â Mereka memutuskan untuk tidur semalam di tempat itu. Â Sembada terpaksa menunda perjalanannya semalam lagi, karena permintaan pimpinan pengawal dan pedagang itu.
"Anakmas janganlah pergi dulu mendahului kami. Â Terus terang kami masih trauma terhadap peristiwa yang baru saja terjadi. Â Apalagi beberapa wanita yang ada digerobak itu. Â Mereka butuh ketenangan batin hingga besok pagi. "
"Benar anak muda. Â Gadis-gadis putri tuan pedagang ini tentu tak dapat tidur malam ini jika kau bergegas meninggalkan kami."
"Baiklah paman. Â Aku akan menemani paman-paman semua berkemah semalam di tempat ini. Â Aku kira sudah tidak ada yang perlu ditakutkan. Â Kecuali beberapa hewan buas yang telah mencium darah tumpah di sini. Â Mungkin mereka akan datang. Â Namun tentu akan segera pergi kalau melihat perapian menyala di sini."
Pernyataan Sembada menyadarkan para pengawal, bahwa mereka butuh kayu-kayu kering untuk perapian. Â Jika hari telah gelap sulit bagi mereka untuk mendapatkan kayu kering di hutan itu. Â Karena semuanya akan nampak hitam tak terlihat. Â Oleh karena itu beberapa orang pengawal telah berdiri dan berjalan masuk hutan kembali untuk mencari kayu.
Malam itu Sembada jadi pusat lingkaran para pengawal yang duduk di pinggir perapian. Â Beberapa gadis juga ikut duduk di antara mereka. Â Karena mereka merasa aman jika mereka dekat dengan para pengawal.
Lelaki tua pedagang itu menawarkan kepada Sembada pekerjaan sebagai pengawal tetapnya bilamana ia hendak pergi berdagang kemanapun. Â Namun dengan halus Sembada menolaknya. Â Karena kini ia sedang menjalankan tugas yang dibebankan oleh gurunya.
"Terima kasih atas tawaran paman. Â Bukan aku menolak kesempatan yang baik itu. Â Namun sekarang aku masih harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Â Mencari saudara perempuan adik seperguruan saya, putri majikan orang tua saya yang hilang. "
"Siapakah majikan orang tuamu anak muda ?"
"Kanjeng tumenggung Gajah Alit, salah satu senopati kerajaan Medang."
"Ohh, sebenarnya kau putra siapa di ketumenggungan itu."
"Aku adalah putra pamomong kedua putrinya, Sekarsari dan Sekararum. Â Nama ibuku Nyai Kenanga. Â Ayahku Wirapati, pemimpin pengawal pasukan katumenggungan."
"Tapi ilmumu sungguh mencengangkan kami. Â Sejauh yang aku ketahui ilmu gurumu tidak setinggi itu. Â Ajar Cemara Sewu yang dulu dikenal sebagai Menjangan Gumringsing tidak lebih dari seorang prajurit biasa-biasa saja. Â Meskipun tentu berada diatas tingkatan kami. Â Namun kakak seperguruannya yang agak kesohor, ia pendekar legendaris bersenjata cambuk nagageni."
"Aki kidang Gumelar ? Â Iapun guruku paman. Â Cambuk itu diwariskan kepada saya."
"Ohhh pantas. Â Sekali lecutan saja kau mampu merobohkan para perampok itu."
"Tapi tak satupun yang terbunuh oleh cambukku, kecuali seorang pencuri kuda yang jatuh karena lehernya terjerat ujung cambukku."
"Yah, anak buahku yang menyelesaikan mereka. Â Ketika mereka tak lagi berdaya, dengan geramnya para pengawal menghabisinya."
Demikianlah perbincangan itu berlangsung hingga tengah malam. Â Tak terjadi peristiwa apapun malam itu hingga fajar menyingsing di timur. Â Mereka bergegas bersiap-siap meneruskan perjalanan, meski perut belum terisi apapun malam itu. Â Mereka tak sempat berburu binatang buat makan malam sebagaimana kebiasaan mereka jika terpaksa berkemah di hutan.
Sembada menuntun kudanya di barisan paling belakang. Â Berjalan berjajar bersama pemimpin pengawal dan pedagang itu. Â Kedua orang itu begitu kagumnya kepada anak muda berilmu tinggi dan sopan itu.
Saat matahari telah mencapai puncak rombongan itu telah keluar dari hutan Waringin Soban yang telah menelan sebagian dari anggota rombongan itu dalam pelukannya. Â Semuanya tak dapat dihindari, karena hanya sampai disitulah kemampuan mereka mempertahankan diri. Â Musuh terlalu kuat bagi mereka. Â Tiga orang korban mereka anggap sebagai keberuntungan karena pertolongan pendekar bercambuk murid pendekar legendaris yang lama telah mereka dengar. Â
Mendekati tempat penyebrangan di sungai Brantas mereka berhenti di warung pinggir jalan. Â Sembada menolak ikut masuk ke warung itu karena ia akan melanjutkan perjalanan agar cepat sampai ke padepokan. Â Ia ingin segera bertemu dengan gurunya untuk melaporkan hasil tugas yang dibebankan padanya. Â Semua anggota rombongan sedikit kecewa, namun mereka tak dapat menghalangi Sembada untuk mendahului perjalanan.
Ketika semua anggota rombongan itu masuk ke dai Sembada segera meloncat kepunggung kudanya. Â Ia hela hewan itu turun mendekati tempat penyebrangan sungai brantas yang lebar itu.
Dua kali ia menyebrang sungai itu. Â Tak ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana. Â Ketika rakit yang dinaikinya telah sampai di seberang segera ia membayar. Â Kemudian bergegas melarikan kudanya meninggalkan tempat yang cukup ramai itu. Â Kuda yang ia bawa adalah kuda yang sangat bagus. Â Larinyapun cepat sekali. Â Maka sebentar saja Sembada telah mampu menempuh perjalanan ribuan depa dari tempat penyebrangan.
Namun sebenarnya ada seseorang yang memperhatikan kuda itu dari kejauhan ketika ia keluar dari tempat penyebrangan. Â Orang itu segera menemui teman-temannya dan mengajak teman-temannya itu untuk mengejar seekor kuda bagus yang tunggangi oleh seorang anak muda kebanyakan.
"Benarkah yang naik kuda itu pemuda desa biasa, bukan prajurit atau seorang pendekar ?"
"Aku yakin ia anak desa biasa. Â Anak saudagar yang kaya barangkali. Â Sehingga memiliki kuda yang sangat bagus seperti itu. Â Nilai kuda itu dua atau tiga ekor kuda kita."
"Jika demikian mari kita kejar. Â Mudah-mudahan anak itu tidak terlalu cepat melarikan kudanya. Â Sehingga kita bisa mendapatkannya di galuh atau desa sebelah baratnya."
Maka sejenak kemudian melesat tiga orang berkuda dari tempat penyebrangan itu. Â Mereka bertujuan mengejar Sembada yang telah lama lewat. Â Tiga kuda berlari kencang, di atasnya tiga lelaki berteriak-teriak menghela hewan itu. Â Namun sampai beberapa lama mereka belum juga melihat seorangpun berkuda di depan mereka.
Tentu sajak tiga orang itu kehilangan buruannya. Karena Sembada sebelum masuk desa Galuh ia belokkan kudanya ke kampung kecil di mana ibu temannya tinggal. Tiga orang itu melanjutkan pengejarannya hingga beberapa desa di sebelah barat bekas kota raja Medang itu.
Sementara Sembada telah sampai di depan rumah Mbok Kanthi, ibu Waskita, temannya semasa kecil. Nampak seorang wanita yang tersenyum melihatnya saat ia turun dari kuda.
"Rahayu Mbok. Kita bertemu lagi"
"Rahayu Sembada. Marilah singgak di rumah simbok. Sudah tiga tahun kita tidak berjumpa"
"Sudah tiga tahun mbok. Lama sekali."
"Sejak pertama kali kau datang, sudah tiga kali upacara nyepi dilaksanakan di desa ini. Jadi sudah tiga warsa kau pergi."
"Sama sekali aku tak pernah menghitung hari. Ternyata hari berlalu dengan cepatnya. "
Ketika Sembada telah duduk diamben tamu rumah mbok Kanthi, Sembada menanyakan keberadaan kakek Ardi yang dulu ia temui di rumah janda tua itu.
"Iapun sudah lama tidak kesini Sembada. Juga tidak tahu kemana ia pergi. Terakhir ia datang bersama wanita tua bernama Nyai Rukmini dan seorang gadis cantik yang aku lupa bertanya siapa namanya. Mereka hanya sebentar singgah."
Sembadapun teringat Ki Ardi pernah bercerita tentang Nyai Rukmini, seorang pendekar wanita angkatan dirinya yang bergelar Walet Putih Bersayap Pedang, yang memiliki padepokan di lereng gunung Arjuna. Namun keterangan itu tidak ia sampaikan kepada Mbok Kanthi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H