Ada beberapa anggota perampok yang berusaha naik gerobak. Namun tiba-tiba satu persatu terpelanting. Kemudian muncullah lelaki berpakaian mewah dengan tangan menggenggam pedang. Lelaki itupun lantas melibatkan diri dalam pertempuran yang seru itu. Dengan tangkasnya ia menyerang empat orang perampok yang mengerubutnya.
Sembada juga meladeni dua orang bersenjata tombak dan pedang. Namun ia tidaklah merasa kesulitan meski hanya bersenjata kayu. Bahkan ia telah berulang kali berhasil menggebug punggung lawannya.
Pemimpin pengawallah yang agak mengalami kesulitan. Trembolo dan Wadasgempal mengeroyoknya. Kemampuan dua orang anak buah Gagakijo itu memang di atas rata-rata anggota gerombolan yang lain. Kekasarannyapun demikian pula.
"Kau pasti mampus duluan. Menyerahlah. Aku hanya menginginkan isi gerobak itu. Bukan nyawa kalian."
"Langkahi dulu nyawaku. Baru kau bisa bawa gerobak itu."
"Kau memang anak iblis. Aku minta baik-baik malah cari mampus."
Dua orang itu lantas melibat pemimpin pengawal dengan serangan-serangan yang berbahaya. Namun dengan tangkas dan lincahnya ia masih mampu bertahan.
Pertempuran di hutan Waringin Soban itu kian lama kian sengit. Tidak hanya keringat yang telah membasahi tubuh, namun darahpun telah menetes dari luka yang menganga karena pedang lawan.
Sembada agak mencemaskan keadaan para pengawal. Tenaga mereka terkuras harus menghadapi dua bahkan ada yang tiga lawan. Setangguh apapun mereka pasti akan kelelahan, dan perlawanan mereka akan segera mengendor.
Namun ia masih ragu-ragu untuk menyatakan diri dengan seluruh kemampuan dirinya. Jika mungkin ia akan bertempur seperti para pengawal saja.Â
Tiba-tiba seorang anggota perampok keluar dari lingkaran pertempuran. Ia berlari menuju kuda Sembada yang ditambatkan. Dengan cepatnya ia melepas tali yang tertambat di dahan pohon. Dengan lincahnya ia meloncat ke punggung kuda dan menggebraknya agar hewan itu lari meninggalkan medan.