Berita akan hadirnya musuh yang hendak menyerang dan menghancurkan kademangan Majaduwur telah tersebar. Semua telinga telah mendengar berita itu. Maka gemparlah warga kademangan Majaduwur itu.
Banyak warga yang merasa takut dan ngeri jika memang perang itu terjadi. Tentu korban akan banyak berjatuhan, dan mereka harus rela melepas anggota keluarganya untuk pergi ke alam baka.
Meski para punggawa kademangan telah bersusah payah untuk tetap menjaga ketenangan, namun rasa takut dalam hati penduduk belum juga reda.
Kebiasaan baru muncul dalam situasi itu. Semua lelaki warga kademangan Majaduwur, tua atau muda, jika sedang keluar rumah pasti mereka bersenjata. Baik kepasar atau ke sawah mereka tidak melupakannya. Entah itu parang, kapak, pedang atau bahkan keris. Sewaktu-waktu musuh datang mereka merasa telah siap menghadapinya.
Setiap sore hingga menjelang tengah malam semua pemuda berkumpul. Di halaman banjar dusun mereka atau di tempat tempat lapang yang lain. Dengan penuh semangat mereka berlatih olah kanuragan dan tata gelar perang.
Di bimbing oleh pengawal pengawal senior atau orang orang tua mantan prajurit, para pemuda giat membaja diri.
Sembada juga tidak ketinggalan. Ia menjeburkan diri dalam arus kesibukan pemuda di dusun Majalegi. Ia ikut berlatih olah kanuragan, dan belajar olah gelar perang.
Ketika Sambaya mengetahui hal itu ia tersenyum. Sembada benar benar pemuda aneh pikirnya. Lelaki itu benar benar tidak ingin diketahui oleh teman temannya yang lain sebagai pemuda berilmu.
"Adakah masih kau perlukan untuk berlatih kanuragan ?" Tanyanya kepada Sembada sambil berbisik.
"Tentu tuan, akupun ingin meningkatkan kemampuanku agar bisa ikut bela desa kita." Jawab Sembada.