HUTAN WARINGIN SOBAN
Oleh Wahyudi Nugroho
Sembada tidak lagi mau pikirannya terganggu oleh perasaan dirinya yang seolah pernah akrab dengan gadis itu. Ia nikmati perjalanannya dengan melihat rumah-rumah penduduk dan beberapa pepohonan di pinggir jalan.
Terdengar suara burung Tekukur memecah sepinya perjalanan. Pasti burung itu tengah bertengger di salah satu cabang pohon beringin yang besar itu. Â Ia membayangkan pastinya burung itu tidak sendirian, namun berdua dengan pasangannya. Â Si jantan terus memperdengarkan bunyi suara merdunya, di depan betinanya yang sedang mengaguminya.
Tiba-tiba Sembada teringat bahwa arah lari gerombolan orang kekar dan kasar itu searah dengan dua belas orang berkuda. Jika mereka mendendam atas kekalahannya di halaman kedai makanan, dan mencegat dua belas orang berkuda itu dengan melipatgandakan kawan, tentu sangat berbahaya bagi keselamatan dua belas  orang itu.
Seolah-olah nalurinya mengatakan ia wajib membantu delapan orang itu. Â Lebih-lebih terhadap si gadis, ia merasa harus menyelamatkannya dari bahaya.
Maka Sembada segera melingkarkan bungkusan bekalnya di pundak dan pinggang. Â Setelah ujung-ujungnya ia ikat rapat, iapun segera meloncat dengan seluruh tenaga dalamnya mengejar delapan orang berkuda itu.
Sementara itu delapan orang berkuda sudah memasuki hutan Waringin Soban. Â Hutan lebat yang cukup ditakuti oleh setiap orang untuk memasukinya. Â Hutan ini terkenal dengan gerombolan berandal Gagak Ijo yang menganggapnya daerah kekuasaannya.
Banyak pedagang yang menunggu kawan mereka untuk bersama-sama lewat hutan ini. Â Jika rombongan lebih lima puluh orang, atau merasa mempunyai pengawal yang kuat, baru berani melewatinya.
Beberapa ratus depa delapan orang berkuda itu dari pintu hutan, terdengar suara panah sendaren yang meraung di udara. Â Pemuda gemuk pendek pemimpin rombongan itu segera menarik tali kekang kudanya. Â Teman-temannyapun mengikuti menarik tali kekang kuda mereka.