Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 7. Hutan Waringin Soban

19 Maret 2024   16:55 Diperbarui: 3 September 2024   14:06 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HUTAN WARINGIN SOBAN

Oleh Wahyudi Nugroho

Sembada tidak lagi mau pikirannya terganggu oleh perasaan dirinya yang seolah pernah akrab dengan gadis itu. Ia nikmati perjalanannya dengan melihat rumah-rumah penduduk dan beberapa pepohonan di pinggir jalan.

Terdengar suara burung Tekukur memecah sepinya perjalanan. Pasti burung itu tengah bertengger di salah satu cabang pohon beringin yang besar itu.  Ia membayangkan pastinya burung itu tidak sendirian, namun berdua dengan pasangannya.  Si jantan terus memperdengarkan bunyi suara merdunya, di depan betinanya yang sedang mengaguminya.

Tiba-tiba Sembada teringat bahwa arah lari gerombolan orang kekar dan kasar itu searah dengan dua belas orang berkuda. Jika mereka mendendam atas kekalahannya di halaman kedai makanan, dan mencegat dua belas orang berkuda itu dengan melipatgandakan kawan, tentu sangat berbahaya bagi keselamatan dua belas  orang itu.

Seolah-olah nalurinya mengatakan ia wajib membantu delapan orang itu.  Lebih-lebih terhadap si gadis, ia merasa harus menyelamatkannya dari bahaya.

Maka Sembada segera melingkarkan bungkusan bekalnya di pundak dan pinggang.  Setelah ujung-ujungnya ia ikat rapat, iapun segera meloncat dengan seluruh tenaga dalamnya mengejar delapan orang berkuda itu.

Sementara itu delapan orang berkuda sudah memasuki hutan Waringin Soban.  Hutan lebat yang cukup ditakuti oleh setiap orang untuk memasukinya.  Hutan ini terkenal dengan gerombolan berandal Gagak Ijo yang menganggapnya daerah kekuasaannya.

Banyak pedagang yang menunggu kawan mereka untuk bersama-sama lewat hutan ini.  Jika rombongan lebih lima puluh orang, atau merasa mempunyai pengawal yang kuat, baru berani melewatinya.

Beberapa ratus depa delapan orang berkuda itu dari pintu hutan, terdengar suara panah sendaren yang meraung di udara.  Pemuda gemuk pendek pemimpin rombongan itu segera menarik tali kekang kudanya.  Teman-temannyapun mengikuti menarik tali kekang kuda mereka.

"Itu pasti anak buah Gagakijo yang melepaskan anak panah.  Sebagai isyarat bahwa kita akan lewat." Kata pemuda gemuk itu.

"Iya kakang.  Pemilik kedai juga sudah berpesan agar kita berhati-hati lewat hutan Waringin Soban.  Gagak Ijo terkenal sebagai orang pendendam.  Tentu ia sudah menambah kekuatan, sehingga berani menghadang kita di sini." Kata gadis berambut panjang.

"Bagaimana ?  Apakah kita jalan terus menerobos hutan ini ?  Jalan ini yang paling dekat dengan Kademangan Majaduwur. "  Kata pemuda itu meminta pertimbangan.

"Kalau kita lewat jalan sebelah selatan, kita harus melingkar agak jauh.  Besok pagi kita akan sampai.  Namun kalau kita lewat jalan ini, jika tidak ada halangan, tengah malam kita sudah sampai." Lanjutnya.

"Tapi bahaya menghadang kita di depan Kakang." Jawab gadis itu.

Melihat pemuda putra ki demang Majaduwur itu ragu-ragu, semua yang mengikutinyapun menjadi ragu-ragu.  Ketika pemuda itu hendak memutar kudanya kembali ke arah semula, maka terdengarlah suara tertawa mengejeknya.

"Hahahaha, ternyata nyalimu hanya semenir anak muda.  Kau tak memiliki keberanian untuk melanjutkan  perjalananmu lewat jalan ini.  Kemanapun kau pergi, kalian telah terkepung. Beberapa anak buahku mengawasimu sejak masuk pintu hutan ini." Terdengar suara orang dari kejauhan.

"Siapa yang takut kepadamu Gagak Ijo.  Ayo datanglah ke sini, kita mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit di sini." Kata pemuda gemuk itu agak marah.

"Hahahaha, sombong benar kau anak muda.  Ilmumu masih kalah dalam dengan tapak itik di rawa-rawa, tapi sudah berani menantangku untuk mengadu kesaktian. " jawab seseorang dari kejauhan.

Pemuda itu tidak jadi membelokkan kudanya untuk mencari jalan lain, namun ia juga tidak berani mengajak teman-temannya untuk lanjut.  Mereka hanya duduk kebingungan di atas kuda. Namun ketika mereka melihat hanya sekitar delapan orang yang mendatangi mereka dari depan, keberanian mereka bangkit lagi.

Pelan-pelan merekapun menyentuh perut kudanya agar mau berjalan selangkah demi selangkah.  Ketika jarak mereka sudah dekat, dua belas orang berkuda itu melompat turun dari punggung kuda.  Segera mereka mengikat kuda-kuda itu pada cabang-cabang perdu di pinggir jalan.

Sejenak kemudian mereka telah siap bertempur.  Pedang-pedang mereka telah tergenggam di tangan.  Ujung senjata-senjata itu juga sudah merunduk ke tanah.  Tinggal sekejab lagi akan mereka gunakan untuk menyerang atau menangkis senjata lawan.

"Hahahaha kalian sudah seperti babi-babi dalam kepungan. Belingsatan seperti ayam baru disembelih.  Menyerahlah !! Serahkan kuda-kuda kalian, dan pulang berjalan kaki." Kata pemimpin rombongan yang baru datang.

Tak terdengar jawaban dari mulut dua belas orang berkuda itu. Semua membisu. Tangan mereka sudah gemetar, ingin segera menggerakkan senjata.

"Tidak hanya kuda.  Tapi gadis itupun harus kalian tinggalkan." Kata lelaki berperut buncit.

"Lebih baik aku mati daripada aku tinggal di sini." Saut si gadis.

"Jangan merajuk anak manis.  Kau akan kerasan tinggal di hutan ini. Karena aku akan melayanimu dengan baik." Lelaki buncit itu menanggapi.

"Buaya !!!! Sudah bau tanah tak mau tobat."

"Hahaha"

Mereka berhadapan lagi.  Seperti beberapa waktu yang lalu, delapan orang melawan duabelas orang.  Pertempuran sengitpun segera berkobar.

Pemuda pendek gemuk bersama gadis cantik berrambut panjang harus menghadapi Gagak Ijo.  Pemimpin gerombolan itu benar-benar keras dan kasar cara bertempurnya.  Ia berteriak-teriak dan memaki-maki lawannya.  Sementara pengikut pemuda itu melawan anak buah Gagak Ijo dengan sengitnya.

Keseimbangan pertempuran segera bergeser.  Anak buah Gagak Ijo mulai kewalahan melawan musuh yang berlebih. Terutama mereka yang menghadapi dua orang sebagai lawan.

Sambil bertempur Gagak Ijo mengamati anak buahnya. Keadaannya memang cukup mengkhawatirkan.  Maka segera terdengar suitan yang panjang.

Pemuda pendek dan gadis itu mengira musuhnya akan melarikan diri lagi.  Namun ternyata suitan panjang itu isyarat Gagak Ijo memanggil kawan-kawannya.  Sebentar kemudian dari balik semak-semak bermunculan beberapa orang, lebih dari sepuluh. Mereka segera menceburkan diri dalam arena pertempuran.

Kini situasinya berbalik.  Para pengawal kademangan itu yang sekarang keteteran.  Masing-masing harus melawan dua orang sekaligus.

Pemuda pendek itu sangat marah, pedang besar di tangannya segera bergerak dengan cepatnya menyerang Gagak Ijo. Namun kemampuan Gagak Ijo memang cukup tinggi, serangan-serangan pemuda itu dapat dihindari bahkan ditepis untuk tidak melukai dirinya.

"Hahaha kau sudah mulai gila anak muda.  Sebentar lagi kalian akan mampus di sini.  Mayat kalian akan jadi rebutan anjing-anjing liar."  Kata Gagak Ijo menyakitkan hati.

"Pertempuran belum selesai. " saut pemuda itu.

"Memang belum selesai.  Tetapi akhir pertempuran sudah bisa diramalkan."

Para pengawal dengan sekuat tenaga dan kemampuan mereka berusaha mempertahankan diri dari serangan-serangan lawan yang membeludag seperti banjir.  Teriakan-teriakan, makian silih berganti terdengar bersama denting senjata yang beradu.
Luka dan darah sudah mewarnai kulit dan baju para pengawal.

Namun semangat mereka bertahan benar-benar mengagumkan. Mereka berjuang terus sambil mencari cara bertempur yang menguntungkan.  Kadang berlari-lari, kemudian berlindung di balik pohon, tapi ketika lawannya lengah mereka menyerang dengan dahsyatnya.

"Setan alas, licik. Kalian bertempur seperti perempuan."

"Kalian juga main keroyok.  Hadapi kami satu melawan satu."

"Mampus kalian.  Sebentar lagi istrimu akan jadi janda. Hahaha"

Namun tiba-tiba tanpa mereka ketahui datangnya muncul seseorang yang menceburkan diri dalam kancah pertempuran. Seorang pemuda bersenjata tongkat bambu tanpa diundang ikut melawan para berandal itu.  

Gerakannya aneh, seperti hanya sembarangan saja ia mengobat-abitkan tongkatnya, seperti orang yang sama sekali tidak memiliki ilmu kanuragan. Beberapa orang anak buah Gagakijo meloncat mundur. 

Mereka mengamati sejenak siapa yang mengganggu pertempuran mereka.  Setelah tahu mereka segera berteriak-teriak marah.

"He siapa kamu anak gila !  Jangan ikut campur di pertempuran ini."

"Aku dipihak orang-orang berkuda ini.  Kalian mengeroyok mereka.  Itu tidak adil."  Jawab pemuda itu sambil menggerakkan tongkat bambunya merangsek lawan di depannya.

"Setan alas.  Kau juga akan jadi bangkai di sini."

Pemuda itu tidak menanggapi ocehan lawannya.  Dengan cepatnya ia menggerakkan tongkat dengan gerak sembarangan, namun demikian gerakan-gerakan itu sangat mengherankan hati para pengawal.

Meski kelihatan seperti orang bodoh dan ngawur, hanya bermodal keberanian, pemuda itu dapat mengobrak-abrik perlawanan anak buah Gagakijo.  Setiap pedang yang berbenturan dengan tongkatnya mesti pedang itu terlepas dari tangan musuhnya. Kemudian diikuti teriakan mengaduh dari lawannya karena bagian tubuhnya kena gebukan atau serampangan tongkat bambu.

Banyak anak buah Gagakijo yang kemudian meloncat mundur. Jika tidak kehilangan pedang, tubuh mereka yang terkena serangan tongkat pemuda itu.  Bahkan ada yang kemudian kakinya pincang, kepala bocor, atau perutnya sakit bukan kepalang.

Para pengawal memamfaatkan situasi itu dengan menyerang sisa-sisa lawannya.  Karena keterkejutan sesaat itu benar-benar merugikan anak buah Gagakijo.  Senjata para pengawal sebentar kemudian telah memakan korban.

Menyaksikan kegaduhan di arena  pertempuran anak buahnya, Gagakijo benar-benar marah.  Perlawanan anak buahnya benar-benar morat-marit gara-gara orang asing gila yang tidak dikenal.

"He siapa kau ?!!! Jangan ganggu urusan kami."

"Kalian pengecut.  Hanya berani jika kawan kalian berlebih."

"Ini bukan arena untuk pamer harga diri.  Siapa kuat dialah yang merajai."

"Anak buahmu banyak yang mundur sekarang.  Kau mau apa ?  Sebentar lagi sisanya akan mampus."

"Anak setan.  Demit kau."

Gagakijo meloncat mundur juga, menghindari serangan kedua lawannya.  Ia sengaja mengambil jarak agar dapat menghukum pemuda kurang ajar yang telah mengacaukan pertempuran. Sejenak kemudian ia merundukan tubuhnya, tangannya bergerak cepat.  Sebuah pisau meluncur seperti kilat menuju pemuda bertongkat bambu.

Meski pemuda itu nampak sebagai orang bodoh dan tolol, tak berilmu kanuragan, namun melihat serangan yang datang dengan cepat itu ia ternyata mampu menghindar.  Dengan menjatuhkan diri kemudian berguling pisau itu terbang tanpa mengenai sasaran.  Ia kemudian menancap di sebatang pohon hingga sampai pangkalnya.

"Demit, setan, thethegan.  Awas kau anak muda.  Kemanapun kau akan aku cari." Ancam Gagak Ijo.

Semua mata terpana menyaksikan peristiwa itu.  Pertempuran berhenti sesaat, menunggu apa yang akan dilakukan Gagak Ijo terhadap pemuda lancang itu.  Namun kemudian terdengar suitan bernada merintih-rintih, anak buah Gagak Ijo paham akan maksud pemimpinnya.

Didahului oleh Gagak Ijo yang meloncat dan menerobos semak-semak untuk menghindarkan diri dari arena, anak buahnya tanpa ragu-ragupun melakukan hal yang sama.  Para pengawal itu terpana mengawasinya, mereka kemudian menghembuskan nafas dengan lega.  Seolah hendak melepaskan seluruh ketegangan yang membelit hati mereka.

Di antara rombongan orang berkuda itu yang agak tidak senang hatinya adalah pemuda pendek gemuk itu.  Yang lain merasa bersyukur terlepas dari bahaya dan kematian yang baru saja mencengkeram mereka.

"Kenapa kau ikut campur ?  Apa urusanmu dengan kami ?" Tanya pemuda itu kepada orang yang membantunya.

"Tidak ada urusan apa-apa tuan.  Saya tidak tahan melihat ketidakadilan. " jawab pemuda yang kelihatan bodoh itu.

"Jumawa.  Kami belum kalah di arena ini.  Kami juga punya kewajiban menghancurkan kejahatan. " kata pemuda gemuk pendek sambil bersungut.

"Apapun yang ia lakukan, dia telah melepaskan kita dari kesulitan kakang." Kata si gadis pelan.

Pemuda pendek gemuk itu menatap mata gadis.  Ia merasa tidak mengerti apa yang dipikirkan gadisnya.

"Kita tidak minta pertolongannya.  Lancang.  Memangnya kami di sini betina semua."

Anak buahnya menundukkan kepala.  Semua tidak paham atas sikap pemuda pendek gemuk yang menjadi pemimpinnya itu. Anak muda bertongkat itu tidaklah salah.  Menolong orang dari kesulitan adalah naluri setiap orang yang waras.

"Kita lanjutkan perjalanan."

Pemuda pendek gemuk itu bergegas melangkahkan kakinya menuju kudanya ditambatkan.  Si gadispun mengikutinya setelah ia mengangguk dan tersenyum ke arah pemuda bertongkat itu. Sembada membalas anggukan dan senyum gadis itu.

Sebentar kemudian dua belas orang sudah melarikan kuda mereka. Pemuda pendek dan gemuk itu tak mau menolehkan kepalanya sekalipun kepada Sembada.  Hanya anak-anak buahnya yang diam-diam menganggukkan kepalanya ketika mereka lewat di depan Sembada.

Sembada sendiri tidak mengerti atas sikap pemuda pendek gemuk itu.  Niatnya hanya menolong, tak secuilpun punya pamrih apa-apa.  Ia menghela nafas panjang, melepas rasa kecewa dan heran dalam hatinya.

Kepalanya menengadah dan melihat langit yang sudah agak suram.  Rupanya matahari sebentar lagi akan tenggelam. Sembada melangkahkan kakinya, menyusuri jalan di tengah hutan Waringin Soban itu, searah dengan orang-orang berkuda.

Sebentar lagi malam akan menyelimuti hutan itu.  Sembada sedang tidak ingin tidur di tengah hutan, ia lantas bergegas dan berlari menggunakan ilmu peringan tubuhnya.  

Menjelang keluar hutan ia melihat seorang kakek memikul dua bongkok kayu.  Nampak ia agak kesulitan berjalan karena bebannya terlalu berat.  Segera Sembada menghampirinya.

"Kek.  Beratkah kayu yang kau pikul ? "
Sambil ngos-ngosan nafasnya kakek itu menjawab.

"Aahhh berat sekali ki sanak.  Aku agak berlebihan mengambil kayu di hutan. "

"Sedikit sedikit saja Kek, ambilnya.  Biar kakek tak kesulitan."

"Yah anak muda. Hah hah hah "

"Aku bantu Kek.  Di mana rumahmu ?  Masih jauhkah ?"

"Tidak jauh.  Itu di ujung desa itu rumahku."  Kata kakek sambil menudingkan telunjuk.

Sembada segera mengambil alih beban si kakek.  Kemudian ia memikulnya dengan jalan yang agak cepat.  Si kakek berlari-lari kecil mengikutinya.

"Pelan-pelan saja anak muda.  Gak perlu tergesa-gesa."

Sembada melambatkan jalannya.  Baginya dua buah bongkok kayu itu tidaklah berat.  Jika mau ia masih bisa membawanya terbang dengan ilmu peringan tubuhnya.

Matahari telah tenggelam di barat.  Langit sudah mulai gelap. Dua orang itu terus mengayun langkah menuju rumah si kakek. Sebentar kemudian nampak sebuah rumah beratap alang-alang, berdinding anyaman bambu.

Rumah itulah tadi yang dituding si kakek untuk memberitahukan kepada Sembada.  Sembada bergegas dengan mempercepat jalannya.  Namun si kakek tidak lagi berlari-lari kecil mengikutinya.  Bibirnya saja yang tersenyum memandang seorang pemuda yang murah hati mau menolong dirinya.

Sembada meletakkan dua bongkok kayu di depan rumah alang-alang itu.  Ia lantas menghampiri lincak bambu di teras. Ia duduk menunggu si kakek yang rupanya santai sekali jalannya.  

Keduanya tersenyum setelah bertatapan pandang di depan rumah sederhana itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun