Sembada sendiri tidak mengerti atas sikap pemuda pendek gemuk itu. Â Niatnya hanya menolong, tak secuilpun punya pamrih apa-apa. Â Ia menghela nafas panjang, melepas rasa kecewa dan heran dalam hatinya.
Kepalanya menengadah dan melihat langit yang sudah agak suram. Â Rupanya matahari sebentar lagi akan tenggelam. Sembada melangkahkan kakinya, menyusuri jalan di tengah hutan Waringin Soban itu, searah dengan orang-orang berkuda.
Sebentar lagi malam akan menyelimuti hutan itu. Â Sembada sedang tidak ingin tidur di tengah hutan, ia lantas bergegas dan berlari menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Â
Menjelang keluar hutan ia melihat seorang kakek memikul dua bongkok kayu. Â Nampak ia agak kesulitan berjalan karena bebannya terlalu berat. Â Segera Sembada menghampirinya.
"Kek. Â Beratkah kayu yang kau pikul ? "
Sambil ngos-ngosan nafasnya kakek itu menjawab.
"Aahhh berat sekali ki sanak. Â Aku agak berlebihan mengambil kayu di hutan. "
"Sedikit sedikit saja Kek, ambilnya. Â Biar kakek tak kesulitan."
"Yah anak muda. Hah hah hah "
"Aku bantu Kek. Â Di mana rumahmu ? Â Masih jauhkah ?"
"Tidak jauh. Itu di ujung desa itu rumahku."  Kata kakek sambil menudingkan telunjuk.
Sembada segera mengambil alih beban si kakek. Â Kemudian ia memikulnya dengan jalan yang agak cepat. Â Si kakek berlari-lari kecil mengikutinya.