"Itu pasti anak buah Gagakijo yang melepaskan anak panah. Â Sebagai isyarat bahwa kita akan lewat." Kata pemuda gemuk itu.
"Iya kakang. Â Pemilik kedai juga sudah berpesan agar kita berhati-hati lewat hutan Waringin Soban. Â Gagak Ijo terkenal sebagai orang pendendam. Â Tentu ia sudah menambah kekuatan, sehingga berani menghadang kita di sini." Kata gadis berambut panjang.
"Bagaimana ? Â Apakah kita jalan terus menerobos hutan ini ? Â Jalan ini yang paling dekat dengan Kademangan Majaduwur. " Â Kata pemuda itu meminta pertimbangan.
"Kalau kita lewat jalan sebelah selatan, kita harus melingkar agak jauh. Â Besok pagi kita akan sampai. Â Namun kalau kita lewat jalan ini, jika tidak ada halangan, tengah malam kita sudah sampai." Lanjutnya.
"Tapi bahaya menghadang kita di depan Kakang." Jawab gadis itu.
Melihat pemuda putra ki demang Majaduwur itu ragu-ragu, semua yang mengikutinyapun menjadi ragu-ragu. Â Ketika pemuda itu hendak memutar kudanya kembali ke arah semula, maka terdengarlah suara tertawa mengejeknya.
"Hahahaha, ternyata nyalimu hanya semenir anak muda.  Kau tak memiliki keberanian untuk melanjutkan  perjalananmu lewat jalan ini.  Kemanapun kau pergi, kalian telah terkepung. Beberapa anak buahku mengawasimu sejak masuk pintu hutan ini." Terdengar suara orang dari kejauhan.
"Siapa yang takut kepadamu Gagak Ijo. Â Ayo datanglah ke sini, kita mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit di sini." Kata pemuda gemuk itu agak marah.
"Hahahaha, sombong benar kau anak muda. Â Ilmumu masih kalah dalam dengan tapak itik di rawa-rawa, tapi sudah berani menantangku untuk mengadu kesaktian. " jawab seseorang dari kejauhan.
Pemuda itu tidak jadi membelokkan kudanya untuk mencari jalan lain, namun ia juga tidak berani mengajak teman-temannya untuk lanjut. Â Mereka hanya duduk kebingungan di atas kuda. Namun ketika mereka melihat hanya sekitar delapan orang yang mendatangi mereka dari depan, keberanian mereka bangkit lagi.
Pelan-pelan merekapun menyentuh perut kudanya agar mau berjalan selangkah demi selangkah. Â Ketika jarak mereka sudah dekat, dua belas orang berkuda itu melompat turun dari punggung kuda. Â Segera mereka mengikat kuda-kuda itu pada cabang-cabang perdu di pinggir jalan.