Suatu sore, 20 an tahun yang lalu, datang seorang tamu di rumahku. Seorang wanita yang sudah tak muda. Raut wajahnya mewartakan padaku ibarat bunga sudah agak layu. Singkatnya, perawan tua.
Aku persilahkan tamuku duduk. Dengan sopan ia mengangguk. Ia utarakan maksud kedatangannya. Mengundangku untuk hadir dalam pernikahannya sebagai emce (MC).
Tentu saja aku menyanggupinya. Karena itu profesi kerja yang aku tekuni. Namun aku tertegun sejenak, ada bisikan lembut masuk dalam hati. Orang2 Jawa bilang ini wisik. Bisikan gaib entah dari mana datangnya.
Segera aku sampaikan wisik itu padanya. Pertama, agar ia menyempatkan diri untuk nyekar, jiarah, ke makam kedua orang tuanya sebelum acara pernikahan. Kedua, saat hari H agar menyediakan sesaji lima macam barang. Kembang telon (bunga tiga warna), kendi berisi air putih, segelas wedang kopi, minyak wangi, dan rokok surya.
Ia menyanggupinya kemudian pamit pulang.
Saat hari H aku datang. Perias temanten, di daerahku disebut patah, memberi tahuku. Bahwa sesaji yang saya minta telah disediakan. Ia bertanya barang-barang tersebut diletakkan di mana. Aku bilang di depan saja, dekat kursi pengantin.
Segera aku ganti pakaian. Aku kenakan pakaian tradisional Jawa jangkep, alias lengkap. Setelah rampung berdandan aku mengaca pada cermin di ruangan itu, nampak lelaki yang sangat tampan. Aku tersenyum.Â
"Sudah, sudah cakep, ganteng." Kata ibu Amin patah itu.
Semua gadis yang sedang beliau rias tersenyum. Salah seorang dari mereka nyelemong.
"Kumisnya bikin nggak kuat." Semua di ruang itu tertawa.