Simbok itu segera mempersiapkan pesanan Sembada. Bibirnya selalu tersenyum, ia akan pulang membawa uang, sisanya untuk keperluan lain dalam hidupnya.
Berulang kali perut anak muda itu berkelukuk, suaranya terdengar oleh simbok bakul. Â Wanita tua itu tersenyum, pelanggan barunya benar-benar telah lapar.
Setelah selesai simbok bakul mengulurkan pesanan nasi itu kepada Sembada. Â Sembada menerimanya dengan mulut menganga. Nasi pecel di dalam pincuk daun pisang itu sangat menggodanya. Â Setelah mencuci tangan dengan air dalam kendi yang sudah tersedia di meja, ia segera menikmati nasi pecelnya dengan lahap.
"Angger tidak pernah makan di sini. Â Dari mana asal angger ?" Tanya simbok bakul dengan ramahnya.
"Jauh Mbok. Â Aku dari Cemara Sewu, padepokan yang ada di lereng Gunung Wilis sana." Jawab Sembada.
"Woooh jauh sekali. Â Datang ke bekas kotaraja mencari saudaranya kah ?" Tanyanya lagi.
"Enggak Mbok. Â Hanya ingin tahu saja keadaannya sekarang. Â Dulu aku juga pernah tinggal di kotaraja ini." Jawab pemuda itu.
"Benarkah ? Â Di mana ? " Â Tanya simbok bakul sambil meletakkan bumbung bambu wadah wedang sere pesanan Sembada.
"Aku tinggal di dalem katumenggungan Gajah Alit. Â Aku anak emban pamomong putri kembarnya, Sekarsari dan Sekararum. Simbokku bernama Nyai Kenanga."
"Nyai Kenanga istrinya Wirapati ? Â Lelaki pemimpin prajurit pengawal Tumenggung Gajah Alit ?"
"Benar Mbok. Â Simbok kenal ?"