Bab. 1. Â Nonton Wayang Orang
Malam semakin sepi. Bulan di langit memancarkan cahaya terang. Namun tidak di bumi. Sinarnya kalah dengan lampu yang memancar di tiang tiang listrik pinggir jalan. Â Rembulan sedikit kehilangan kecantikkannya. Â Senyumnya memudar, seperti perawan ditinggal kekasihnya.
Tiga sekawan tengah berjalan menyusuri trotoar. Jalan lurus menuju pintu Pasar Baru kota Pare itu telah sepi. Lalu lalang orang berjalan dan berkendaraan telah tiada. Meski bulan memancarkan sinarnya dengan terang di langit. Hanya tiga sekawan itulah yang nampak. Sedang bergegas mengayun langkah.
Mereka bertiga telah bersahabat akrab sejak SMP. Â Ketiganya berasal dari suku dan ras yang berbeda. Â Satu dari suku Jawa. Satu keturunan Batak. Satunya lagi dari ras Cina.
Hanya satu dari tiga sekawan itu yang tidak memiliki embel embel nama marga.
Remaja dari suku Batak itu bermarga Siahaan. Â Nama lengkapnya M. Sondang Siahaan. Â Inisial M itu tak boleh dibuka. Â Jika ada yang memanggil dengan nama berinisial itu ia pasti marah. Tak ada yang tahu kenapa. Ia sendiri tak pernah menjelaskan. Teman teman bisa memahami, namun tentu tidak mengerti. Â Mungkin pamali.
Remaja berkulit putih dan berrambut jarang tegak tegak menantang langit seperti bunga Lamtara itu bermarga Khoe. Sehari hari ia dipanggil Cen Fong. Apa arti tiga suku kata Khoe Cen Fong, semua teman sekelas tak tahu. Â Tidak ada momen perkenalan saat pertama kali masuk sekolah di SMP. Andai ada momen itu pasti akan aku tanyakan. Apa arti tiga suku kata itu.
Nama yang tak ada embel embel marganya adalah namaku, Bilawa. Satu kata thok. Â Jika memaksa memberi embel embel marga agar lebih keren, bisa ditambah bin Soekidjo. Â Jadi Bilawa Bin Soekidjo. Namun itu tidak lazim. Akupun tidak suka.
Mengapa aku bernama Bilawa ? Â Ayahku pernah bercerita. Ketika aku sedang dilahirkan ayah sedang nonton wayang kulit saat tetangga hajatan. Â Tetangga yang sedang menikahkan anaknya itu mengundang dalang terkenal. Untuk menggelar pagelaran wayang kulit dengan lakon Pendawa Ngenger.
Dalam cerita itu ada tokoh wayang idola ayahku, Bimasena. Sang idola tengah menyamar sebagai tukang sembelih binatang, sapi atau kerbau. Â Lelaki yang profesinya seperti itu di masyarakat Jawa sering di sebut jagal. Â Namanya Bilawa. Maka sering disebut Jagal Abilawa.
Sang tokoh idola tengah berperang seru. Â Melawan seorang patih negeri Wirata yang memberontak terhadap kekuasaan kakak iparnya. Â Dibantu adiknya mereka mengeroyok Jagal Abilawa. Â Namun sang tokoh idola memang sakti mandraguna. Kedua lawannya mati bersama saat kepala mereka diadu. Â Dua tokoh pemberontak itu bernama Kencaka dan Rupakenca.
Ketika mereka sedang berperang ramai, dan saat kedua kepala lawan sang idola diadu, dibarengi iringan suara gamelan yang dramatis menyentak, ada orang berbisik di telinga ayahku.Â
"Istrimu melahirkan."
Tanpa berpikir panjang ayahku bergegas pulang. Ia saksikan bayi yang lahir laki laki. Â Kulitnya hitam kemerahan dan tangisnya keras sekali. Ayahku langsung mengucap nama untukku, Bilawa.
Tapi rupanya aku tidak sepenuhnya memenuhi harapan ayah. Berbeda sekali dengan tokoh idola ayahku yang gagah kuat perkasa. Â Tubuhku kecil kurus dan lemah. Â Memang sejak kecil aku kekurangan gizi. Asupan makanan harianku hanya itu itu saja. Nasi kecap, dan tempe bakar. Â Lauk telur ayam goreng sekali seminggu sudah termasuk mewah.
Emakku sering bilang aku terlalu berat menyandang nama Bilawa. Tapi ayah tetap keras hatinya, tak akan mengganti namaku. Aku sendiri tak peduli dengan nama itu. Toh apa arti sebuah nama ? Â Gunanya hanya agar aku menoleh kalau dipanggil nama itu.Â
Sebentar saja kami telah berada di depan tobong berpagar bambu. Tobong adalah gedung pertunjukan yang dapat dibongkar setiap saat jika rombongan seni semacam itu pindah.Â
Terdapat sebuah sepanduk besar terpampang megah disamping pintu tobong. Â Bertuliskan huruf besar besar pula dengan tinta merah.
"Bambang Wisanggeni Lahir".
Itulah lakon, atau jalan cerita, yang akan digelar malam itu. Meski lakon ini telah sering dipentaskan dalam pagelaran, entah mengapa penggemarnya tetap masih berjubal.
Kami bertiga telah sepakat hendak menyaksikan jika lakon ini digelar. Rombongan seni wayang orang "Tribrata Kawedar" memang sudah amat terkenal. Konon kata orang rombongan seni ini milik Polisi, terbukti dengan nama Tribrata. Â Ia adalah janji prasetya polisi kepada negara dan bangsa.
Tobongpun berdiri megah di belakang kantor polisi. Di atas tanah lapang dekat setamplat kendaraan umum di kota Pare. Kota kecil yang juga amat terkenal dengan tahu kuningnya, Tahu Takwa.
"Aku beli tiket dulu." kata Cen Fong berinisiatif beli karcis. Meski di saku celanaku sudah ada persediaan uang untuk beli tiket, tapi aku diam saja. Â Hati sedikit berharap Cen Fong membelikannya. Ternyata benar. Senyumkupun merekah. Uang dari hasil kerja membelikan katul untuk makan ayam dari emakku selamat.
Cen Fong membawa tiga tiket. Â Ia berikan padaku satu. Selembar lagi untuk Sondang, teman Batakku. Â Kami bertiga segera melangkah, hendak masuk pintu tobong.
Aku berhenti sejenak ketika tepat di depan pintu tobong itu. Melihat dengan takjub gapura tobong. Persis seperti gapura candi. Di atas pintu terdapat ornamen gambar raksasa. Matanya melotot besar, hidung dan mulut juga besar. Â Giginya berderet dengan taring yang runcing tajam. Â Itulah ornamen makara.
Di bawah ornamen mengerikan itu terdapat tulisan "WO Tribrata Kawedar". WO tentu sebuah singkatan Wayang Orang.Â
Tiang bangunan di kedua sisi pintu indah dan megah. Â Dua tiang itu menyangga bangunan berornamen makara. Bagian bawah terdapat gambar Dwarapala. Raksasa berbadan besar dan kekar, duduk berjongkok memanggul gada di pundaknya. Tampangnya seram, gelagatnya mengancam. Â
Mengancam siapa ? Tentu aku tak tahu. Mungkin mengancam penonton yang lupa atau sengaja tak bawa tiket.
"Ayoooo !!!" Cen fong memanggilku yang tengah asyik mengagumi keindahan gapura itu.
Kami bertiga segera masuk untuk mencari nomor tempat duduk seperti tertera pada tiket. Â Ternyata berada di depan agak ke tengah. Â Di antara ratusan tempat duduk yang separo telah terisi.
Sejak kami masuk gamelan sudah bertalu. Â Menghadirkan irama sebuah gending yang sedap di dengar telinga. Meski aku orang Jawa, tapi sama sekali aku tak kenal dan mengerti gending apa itu. Memang agak keterlaluan.
Sebentar saja kami bertiga duduk, nampak Cenfong gelisah. Ia menggeser geserkan bokongnya di kursi. Barangkali karena sudah tak tahan, ia pamit keluar sebentar.
"Aku keluar dulu sebentar. Â Pertunjukan masih lama di mulai." Â aku mengangguk.
"Kemana dia ?" tanya Sondang dekat telingaku.
"Paling buang hajat kecil. Â Sebelum masuk sebenarnya kita harus kencing dulu."
"Kenapa harus ? Kalau nggak kebelet apa bisa keluar ?!!"
"Hehehe, iyaya."
Berbareng dengan wara wara atau pengumuman bahwa pagelaran akan dimulai, Cen Fong datang menenteng tiga contong kacang goreng. Â Aku dan Sondang melihatnya sembari tersenyum manis. Manis sekali.
"Kamu memang cerdas Fong. Â Tahu betul apa yang kami inginkan." celetuk Sondang.
"Huuu gundulmu.  Akan aku borong semua kacangnya  enggak jadi.  Takut kalian nggak bisa menghabiskannya. Mubazzirr. Hehe"  katanya.
"Bakulnya sekalian bisa kau bawa ke sini. Menemani kita nonton." timpal Sondang.
"Mau kamu ? Â Orangnya sudah kempong perot. Â Giginya tinggal satu. Alias sudah nenek nenek."
"Ya cucunya lah."
Kami bertiga asyik makan kacang goreng sambil men--dengarkan wara wara yang keluar dari atas panggung.  Saat wara wara disampaikan, gamelan berbunyi lirih, memberi kesempatan suara pambiwara jelas terdengar. Wara wara disampaikan dalam bahasa  Jawa halus. Indah membelai di dengar, hanya celakanya kami tak mengerti.
"Nuwun, nuwun.  Mekaten lampahan ringgit tiyang dalu punika. Nuwun  Sugeng  mirsani "  Itulah kalimat terakhir yang kami dengar. Â
"Apa artinya." celetukku.
"Terima kasih, terima kasih. Demikian cerita wayang orang malam ini. Terima kasih. Â Selamat menonton. Â Wuuuuuu orang Jawa nggak tahu bahasanya sendiri. Payah " kata Cenfong.
Aku tertawa. Â "Pinter kau Fong" Â pujiku.
"Cen Fong tiap malam minggu mendengarkan siaran wayang kulit di radio. Bersama ciciknya. Â Yang pandai bahasa Jawa ciciknya. Â Kalau nggak tahu cenfong tanya padanya." -kata Sondang yang rumahnya bersebelahan dengan cina temanku itu.
"Hehe yang pandai memang yang lebih dulu tahu" Cen Fong menanggapinya.
Kami terkejut ketika gamelan mendadak keras berbunyi. Â Kami hentikan sejenak makan kacang gorengnya. Bersama sama kami memperhatikan panggung di depan.Â
Layar terdepan panggung pagelaran itu dibuka. Bersamaan dengan bunyi gamelan yang menghentak keras. Terpampang di depan mata sebuah adegan mendebarkan hati. Api raksasa berkobar kobar pada sebuah tungku batu. Dari tungku api itu muncul seorang remaja berkostum serba merah, dengan manik manik kuning emas yang gemerlapan tertimpa cahaya. Remaja itu menoleh kekanan dan kekiri, seperti anak yang sedang bingung.
Remaja yang muncul dari tungku api itu pasti seusia kami bertiga. Â Lagaknya di panggung membuat hati semua penonton gemas. Â Badannya langsing, wajahnya cantik, rambut terurai panjang sepinggang. Ucapannya tegas dan cantas.
Irama gamelan mendadak menjadi pelan. Â Diiringi sebuah gending dari sinden yang bersuara merdu mendayu dayu. Di panggung muncul seseorang, memerankan tokoh dewa yang lucu, Narada. Berbadan pendek, berbokong besar, kepala selalu mendongak ke atas.
"Hahahahaha, pekencong perkencong, pakpakpong, waru doyong  ditegor uuuwong. Ajaib ajaib. Sungguh hebat kekuasaan Hyang Widhi. Anak kecil dimasukkan kawah Candradimuka tidak mati.  Malah jadi besar dan tampan seperti ini. Ajaib ajaib."
Ternyata gadis cantik berambut panjang terurai sepinggang itu memerankan Bambang Wisang Geni, tokoh sentral dalam cerita.
Menatap gadis yang tengah beraksi di panggung itu, pikiran Bilawa melayang ke hari pertama di SMA. Â Kayak siapakah gadis itu ? Wajah cantik tinggi semampai. Rambut lurus panjang terurai. Â Persis siapa dia ? Ahhhhh.
Â
Â
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI