Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Bab 1. Nonton Wayang Orang (Tarian Cinta di SMA)

10 Maret 2024   20:12 Diperbarui: 17 Maret 2024   10:21 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tobongpun berdiri megah di belakang kantor polisi. Di atas tanah lapang dekat setamplat kendaraan umum di kota Pare. Kota kecil yang juga amat terkenal dengan tahu kuningnya, Tahu Takwa.

"Aku beli tiket dulu." kata Cen Fong berinisiatif beli karcis. Meski di saku celanaku sudah ada persediaan uang untuk beli tiket, tapi aku diam saja.  Hati sedikit berharap Cen Fong membelikannya. Ternyata benar. Senyumkupun merekah. Uang dari hasil kerja membelikan katul untuk makan ayam dari emakku selamat.

Cen Fong membawa tiga tiket.  Ia berikan padaku satu. Selembar lagi untuk Sondang, teman Batakku.  Kami bertiga segera melangkah, hendak masuk pintu tobong.

Aku berhenti sejenak ketika tepat di depan pintu tobong itu. Melihat dengan takjub gapura tobong. Persis seperti gapura candi. Di atas pintu terdapat ornamen gambar raksasa. Matanya melotot besar, hidung dan mulut juga besar.  Giginya berderet dengan taring yang runcing tajam.  Itulah ornamen makara.

Di bawah ornamen mengerikan itu terdapat tulisan "WO Tribrata Kawedar". WO tentu sebuah singkatan Wayang Orang. 

Tiang bangunan di kedua sisi pintu indah dan megah.  Dua tiang itu menyangga bangunan berornamen makara. Bagian bawah terdapat gambar Dwarapala. Raksasa berbadan besar dan kekar, duduk berjongkok memanggul gada di pundaknya. Tampangnya seram, gelagatnya mengancam.  

Mengancam siapa ? Tentu aku tak tahu. Mungkin mengancam penonton yang lupa atau sengaja tak bawa tiket.

"Ayoooo !!!" Cen fong memanggilku yang tengah asyik mengagumi keindahan gapura itu.

Kami bertiga segera masuk untuk mencari nomor tempat duduk seperti tertera pada tiket.  Ternyata berada di depan agak ke tengah.  Di antara ratusan tempat duduk yang separo telah terisi.

Sejak kami masuk gamelan sudah bertalu.  Menghadirkan irama sebuah gending yang sedap di dengar telinga. Meski aku orang Jawa, tapi sama sekali aku tak kenal dan mengerti gending apa itu. Memang agak keterlaluan.

Sebentar saja kami bertiga duduk, nampak Cenfong gelisah. Ia menggeser geserkan bokongnya di kursi. Barangkali karena sudah tak tahan, ia pamit keluar sebentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun