Kami bertiga asyik makan kacang goreng sambil men--dengarkan wara wara yang keluar dari atas panggung.  Saat wara wara disampaikan, gamelan berbunyi lirih, memberi kesempatan suara pambiwara jelas terdengar. Wara wara disampaikan dalam bahasa  Jawa halus. Indah membelai di dengar, hanya celakanya kami tak mengerti.
"Nuwun, nuwun.  Mekaten lampahan ringgit tiyang dalu punika. Nuwun  Sugeng  mirsani "  Itulah kalimat terakhir yang kami dengar. Â
"Apa artinya." celetukku.
"Terima kasih, terima kasih. Demikian cerita wayang orang malam ini. Terima kasih. Â Selamat menonton. Â Wuuuuuu orang Jawa nggak tahu bahasanya sendiri. Payah " kata Cenfong.
Aku tertawa. Â "Pinter kau Fong" Â pujiku.
"Cen Fong tiap malam minggu mendengarkan siaran wayang kulit di radio. Bersama ciciknya. Â Yang pandai bahasa Jawa ciciknya. Â Kalau nggak tahu cenfong tanya padanya." -kata Sondang yang rumahnya bersebelahan dengan cina temanku itu.
"Hehe yang pandai memang yang lebih dulu tahu" Cen Fong menanggapinya.
Kami terkejut ketika gamelan mendadak keras berbunyi. Â Kami hentikan sejenak makan kacang gorengnya. Bersama sama kami memperhatikan panggung di depan.Â
Layar terdepan panggung pagelaran itu dibuka. Bersamaan dengan bunyi gamelan yang menghentak keras. Terpampang di depan mata sebuah adegan mendebarkan hati. Api raksasa berkobar kobar pada sebuah tungku batu. Dari tungku api itu muncul seorang remaja berkostum serba merah, dengan manik manik kuning emas yang gemerlapan tertimpa cahaya. Remaja itu menoleh kekanan dan kekiri, seperti anak yang sedang bingung.
Remaja yang muncul dari tungku api itu pasti seusia kami bertiga. Â Lagaknya di panggung membuat hati semua penonton gemas. Â Badannya langsing, wajahnya cantik, rambut terurai panjang sepinggang. Ucapannya tegas dan cantas.
Irama gamelan mendadak menjadi pelan. Â Diiringi sebuah gending dari sinden yang bersuara merdu mendayu dayu. Di panggung muncul seseorang, memerankan tokoh dewa yang lucu, Narada. Berbadan pendek, berbokong besar, kepala selalu mendongak ke atas.