Dus, ia membuka pintu bagi semua untuk berdarma bakti. Darma itu bisa pendapat, pikiran dan gagasan. Â Dari sitiran dua pidato itu terrefleksi jiwanya yang demokratis. Jiwa merdeka berfikir dan berpendapat.
Namun kodrat manusia adalah makluk yang tidak sempurna. Kala senja usia di akhir kekuasaannya  ia banyak dicela.  Omongannya di masa muda berbeda dengan ucapannya di hari tua.  Banyak rakyat yang mencibir.
"Isuk dhele, sore tempe. Mencla mencle"
Dan lagi, seringnya berganti istri, semakin banyak yang mencaci maki. Pendiriannya yang kokoh di masa muda, di hari tuanya rapuh dan doyong. Bahkan kemudian roboh. Tergerus arus budaya politik yang sarat nilai nilai budaya feodalisme.
Mula mula kata bung sebagai panggilan jarang digunakan. Kemudian tak dipakai lagi. Â Simbol semangat politik kesederajatan "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" akhirnya dijauhi.Â
Ia bukan lagi panggilan yang mewahyukan semangat persaudaraan, solidaritas dan kebangsaan.  Memakai lagi terasa 'eweh pekewuh'. Tidak sopan, kurang terhormat. Tak bisa bersenyawa dengan norma norma keluhuran  bangsa beradab.
Maka berkembang biaklah istilah yang halus, mriyayeni dan mikul dhuwur. Â Paduka Yang Mulia. Â Dalam pertemuan resmi maupun tak resmi panggilan baru ini selalu mengikuti namanya.
Anehnya, ia tak berang. Â Meski sebutan baru ini bertentangan dengan jiwa perjuangannya yang anti feodalisme.
Tahun 1964, ketika Sayuti Melik menurunkan tulisan serial agar rakyat memahami ajarannya, 21 koran yang memuatnya dibredel. Tafsir Sayuti Melik dianggap salah. Pembantu yang setia itu di cap sebagai pengkhianat ajarannya.
Dari sini terlihat dia tak lagi berpijak pada semangat yang menjiwai perjuangannya sendiri.
"Negara kebangsaan itu dinamis, bergolak, akibat benturan berbagai paham dan pendapat ......"