Dalam penggal sejarah Indonesia, pernah muncul tokoh besar. Ia mencintai bangsa dan tanah airnya. Â Rakyat juga cinta dan mengaguminya. Â
Tapi banyak pula yang membenci. Memfitnahnya dengan keji. Berdaya upaya menjatuhkannya dari kursi kekuasaan. Bahkan berniat menghilangkan nyawanya.
Tuhan karuniakan banyak kelebihan. Wajahnya tampan, badan tegap tinggi semampai. Dalam kepalanya sarat sejuta ide. Pikirannya cakap menghadirkan gagasan.
Pidato-pidatonya menggelora, menggetarkan hati setiap orang yang mendengarkan. Â Kata-katanya berapi-api. Mampu membakar dan mengobarkan semangat.
Aura pribadinya memiliki daya hisap magnetik yang dahsyat. Dapat mengumpulkan semua orang dari segala usia. Laki perempuan, dari seluruh penjuru persada. Â Untuk duduk tertip dan manggut- manggut mendengarkan wejangannya.
Lelaki yang suka dipanggil 'bung' ini tak pernah mengkampanyekan diri keturunan raja. Meski ayahnya bergelar raden, masuk golongan ningrat. Berprofesi sebagai guru terhormat. Ia memilih mengidentifikasikan diri sebagai rakyat.
Ia emoh dengan feodalisme. Ia menolak norma-norma yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Â Hatinya sakit melihat rakyat ngesot merunduk-runduk takut kepada siapapun yang sebenarnya masih sesama.
Harapannya rakyat mampu berdiri tegak sebagaimana kodratnya manusia yang sempurna. Â Dada membusung, tangan mengepal, mata menyala menatap dunia.
Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Itulah prinsip hidupnya.
Karena lahir menjelang matahari terbit, ia menyebut dirinya putra sang fajar. Tentu ini kias atas kesadaran peran dirinya yang besar bagi bangsanya, yang tengah  tertutup kabut tebal kegelapan.