"Pendeknya dia merupakan tokoh pemimpin yang menjadi sumbu kegiatan kegiatan orang-orang di sekitarnya, yang mengikuti kemauan serta kehendaknya dengan patuh," jelas Ahimsa.Â
Sementara joa adalah istilah untuk para pengikut-pengikut ajjoareng, yang berasal dari golongan maradeka (orang merdeka) yang setia
"Seseorang yang merasa dirinya joa dari seorang ajjoareng akan selalu berusaha menunjukkan kesetiaannya tersebut dalam keadaan apapun dan kapan pun juga ajjoareng memerlukannya. Kesetiaan ini sendiri bersyarat, di mana kesetiaan hanya akan diberikan jika ajjoareng bersungguh-sungguh menjaga siri' mereka," ungkap Ahimsa mengutip Mattulada.Â
Sementara di masyarakat Makassar, ajjoareng tersebut atau para patron tersebut disebut karaeng atau anakaraeng, sementara joa atau sawi nya disebut ana'-ana' atau taunna (orang-orangnya), yang dengan sukarela menjadi pengikuti atau turunan dari para pengikut sebelumnya. Hubungan ini disebut minawang (mengikuti), yang berarti bahwa ikatan tersebut bersifat sukarela dan bisa diputuskan setiap saat.
Mattulada (1986)[2] sendiri melihat relasi melihat Punggawa-Sawi masa lalu sebagai institusi yang berfungsi mempertahankan tatanan kolektivitas dan jaminan sosial-ekonomi bagi para anggotanya. Dalam kehidupan di perahu sehari-hari, menurutnya, tidak tampak jelas perbedaan status dan peran di antara Punggawa dan Sawi disebabkan belum adanya diferensiasi peran kerja yang tegas.
Demikian halnya pendapatan di antara setiap anggota kelompok termasuk Punggawa Laut atau Juragan (Nakoda sekaligus pemimpin kegiatan produksi dan pemilik perahu). Terjadinya modernisasi perikanan sejak paruh kedua dasawarsa 1970-an, menurut Mattulada, otomatis menciptakan diferensiasi peran kerja dalam organisasi kerja sama, memperkuat jiwa kapitalisme, perbedaan peruntukkan dalam sistem bagi hasil, yang pada gilirannya mempengaruhi berkurangnya bagian pendapatan setiap anggota kelompok operasional.Â
Munsi Lampe[3], antropolog dari Universitas Hasanuddin, menjelaskan lebih jauh tentang punggawa dan sawi di Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara ini. Menurutnya, dalam struktur masyarakat ini dikenal istilah Punggawa Darat aau Punggawa Usaha, sebutan bagi pemilik usaha. Ia berperan dalam pengelolaan modal yang berinvestasi dalam alat-alat produksi seperti kapal, mesin dan alat tangkap, penyediaan biaya operasional, perawatan, dan penggantian perangkat alat yang rusak.
"Di Tamalate, semua pemilik Usaha Rengge mengambil alih tugas pemasaran ikan yang karenanya lebih dikenal dengan istilah Papalele atau ungkapan untuk pengumpul atau penjual hasil tangkapan," jelas Munsi.
Dengan peran ganda tersebut, menurutnya, memungkinkan mereka dapat memiliki kekayaan lebih banyak dan populer dalam masyarakat daripada mereka yang berstatus tunggal sebagai Punggawa Usaha atau Paccata' semata. Karena peran dan tanggung jawab berat dan rumit yang tentu saja berisiko tinggi, biasanya hanya orang-orang masih relatif muda dan gesit melakukannya.Â
Dikenal juga istilah Nakoda atau Punggawa Laut atau Juragan, yang berperan memimpin pelayaran dan segala kegiatan produktif para Sawi di laut. Juragan Usaha Rengge', yang hanya beroperasi hingga Laut Flores bagian selatan dan perairan Pangkep (Selat Makassar) bagian utara Takalar, menjalankan tugas kenakodaan dan pengelolaan kegiatan produksi di laut secara seimbang.Â
"Peran Juragan yang tak kalah pentingnya ialah memfasilitasi para Sawi dalam mengusahakan perolehan pinjaman uang dari Punggawa Usaha atau Paccata'." Â