Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Budaya dalam Kemiskinan Nelayan Bugis Makassar

5 Maret 2018   12:10 Diperbarui: 5 Maret 2018   17:42 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baharuddin kini bisa bernafas lega. Sebuah program bantuan dari pemerintah daerah dua tahun silam telah mengubah hidupnya secara drastis. Kini ia punya perahu sendiri. Utang-utangnya kepada punggawa pelan-pelan dilunasi dan tak betambah lagi.

Selama ini, meski sebelumnya telah memiliki perahu namun kesejahteraan mereka tak meningkat karena banyak berutang kepada punggawa. Punggawa inilah yang dulunya memberikan mereka perahu atau membiayai perbaikan perahu-perahu ketika rusak.

Sistem pembayarannya dengan cara dicicil melalui metode simpanan. Misalnya ketika dalam sehari mereka dapat Rp 100 ribu maka dikeluarkan sebanyak Rp 5 ribu atau 10 ribu untuk simpanan. Simpanan itulah yang dihitung sebagai pembayaran. Ini membuat lamanya pelunasan utang-utang tersebut, bisa sampai 2 tahun dan bahkan dalam 10 tahun tak lunas-lunas.

Tidak hanya membayar cicilan utang, mereka pun wajib menjual hasil tangkapan kepada punggawa tersebut dengan harga yang ditentukan sendiri oleh mereka.

Dengan berkurangnya utang ke punggawa ini, maka mereka mendapat kompensasi dari hasil penjualan ikan. Jika misalnya harga ikan Rp 50 ribu, namun karena utang sudah kurang maka harga ikan mereka jadi lebih mahal menjadi Rp 55 ribu.

"Target kita mau lunasi utang secepatnya. Semua nelayan bercita-cita mau bayar utang secepatnya. Sayangnya sekarang ini kehidupan di Pulau Barang Caddi, Makassar, ini sangat susah. Air saja kita beli. Dulu harganya hanya Rp 1.500 per jerigen, sekarang naik jadi Rp 2. 500 per jerigen. Kita butuh 10 jerigen per hari untuk 1 keluarga," ungkapnya.

Meski masih menjual ikan di punggawa namun kini mereka bisa mematok harga yang tinggi, karena sudah banyak pilihan untuk menjual ikan. Mekanisme persaingan pasar terjadi.

"Kalau harganya tidak cocok kita bisa jual di punggawa lain. Karena kita juga mencari yang mana paling menguntungkan. Kalau ikan-ikan kecil yang tidak ditimbang kita jual di punggawa lain. Harganya beda. Lebih mahal sedikit dari ponggawa kita."

Selain menjual hasil tangkapan, para nelayan ini juga sangat tergantung terkait penyediaan bahan bakar. Para punggawa lah yang memiliki persediaan bahan baru yang cukup dan bisa dibayar setelah adanya hasil tangkapan. Sekali melaut mereka bisa mendapatkan penghasilan antara Rp 75 ribu -- Rp 100 ribu. Namun kadang mereka tidak melaut 1 -- 2 hari ketika cuaca tak mendukung.

Patron-Client, Relasi Punggawa-Sawi di Sulawesi Selatan

Tradisi kepemilikan individual dalam masyarakat Nelayan Bugis-Makassar sendiri dapat dijelaskan dalam konteks sejarah sosial-ekonomi feodalisme masa lalu, pandangan budaya terhadap wilayah laut dan isinya sebagai akses terbuka/bebas, serta hubungan bisnis/dagang dengan negara-negara besar Asia (terutama Cina dan India) dan Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun