Pegangan yang dijadikan sumber hukum dalam hukum tata negara Islam yakni terdapat Al-Quran dan al-Sunnah. Selanjutnya, yang menjadi sumber hukum islam dalam fiqh siysah terdapat jenis bentuknya antara lain : qiyas, lalu ijma' dan juga dari beberapa sumber hukum lain yang mana bersifat ijtihad dalam melakukan sebuah penemuan hukum tersebut, para ulama dengan tetap berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip pokok akan Al-Qur'an dan juga Hadist.Â
Fathiyah al-Nabrawi dalam Fiqh Siysah Konstekstualisasi Doktrin Politik Islam menuturkan bahwasannya sumber dari fiqh siysah terbagi menjadi tiga, yaitu Al-Qur'an dan al-Sunnah, sumber-sumber yang tertulis selain dalam Al-Qur'an dan al-Sunnah, dan juga sumber-sumber yang berupa akan peninggalan kaum muslimin yang terdahulu. Apabila dikaitkan Undang-Undang Dasar 1945 seperti  Al-Qur'an dan juga Hadist yang mana menjadi sumber utama untuk pembentukan akan Peraturan Perundang- undangan di bawahnya.
Abdul Wahab al-Khallaf (Dalam A.Dzajuli,2003) terkait Fiqh Siyasah merupakan pengurusan dalam hal yang bersifat umum terhadap negara Islam yakni dengan menjaminkan akan perwujudan dalam kemaslahatan dan juga menghindarkan dari kemudharatan dengan cara tidak melampaui batas yang telah di tentukan oleh syari'ah dan juga dalam pokok-pokok syari'ah yang mana bersifat umum, meskipun tidak sepadan dengan pendapat dari para ulama mujtahid.Â
Dalam  hukum islam salah satu aspek keilmuan, fiqh siysah yang membahas terkait dengan kekuasaan yang mencakup dari mana sumber kekuasaan, lalu siapa dalam pelaksana kekuasaan, kemudian apa dasar dari kekuasaan dan selanjutnya bagaimanakah cara dalam penyelenggaraan kekuasaan dan juga pada siapa pelaksana kekuasaan itu mempertanggung jawabkan akan kekuasaannya. Menurut Abdul Wahab Khallaf (dalam A.Dzajuli,2003) objek kajian fiqh siysah terdiri dari:
 1. Siysah dusturiyah merupakan politik perundang-undangan yang dalam ruang lingkup kajiannya membahas terkait akan proses pembuatan peraturan perundang-undangan dari lembaga legislatif,  juga urusan administrasi pemerintahan yang mana dikerjakan  oleh lembaga eksekutif, dan juga penegakan hukum dalam sistem peradilan oleh lembaga yudikatif.
2. Siysah dauliyah atau juga politik luar negeri yang mana membahas terkait dengan hukum perdata internasional dan juga hubungan internasional.
3. Siysah mliyah atau juga politik keuangan dan moneter yang mana membahas terkait dengan keuangan negara, lalu perdagangan internasional, kemudain kepentingan/hak publik, dan pos-pos pengeluaran dan belanja negara, serta perbankan dan pajak.
   Dalam fiqh siysah, suatu objek kajian yang mana akan diperlukan dalam sebuah penelitian ini yakni siysah dusturiyah, karena bersangkutan dengan pembahasan akan perundang- undangan oleh lembaga peradilan atau yudikatif. Dalam siysah dusturiyah, bahwasannya lembaga yudikatif atau juga kekuasaan kehakiman disebut dengan istilah al- sulthah al-Qadla'iyah. Pada jabatan al-sulthah al-Qadla'iyah dalam Islam dikuasai oleh hakim yang mana disebut dengan qadli.
Menurut Abu al-A'la al Maududi bahwasannya Al Sulthah al-Qadla'iyah yakni sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang mana sepenuhnya terlepas dari lembaga eksekutif, mandiri dan juga tidak terpengaruh oleh lembaga yang lain dikarenakan pada saat hakim dalam memutus perkara juga harus taat pada suatu hukum yang berada dalam Al Qur'an bukan kepada Negara.
   Fiqh siysah dusturiyah merupakan pengembangan keilmuan dari fiqh siysah yang terfokus pada pengkajian perundang-undangan (konstitusi, legislasi, ummah, demokrasi) dan juga di dalamnya membahas konsep negara hukum dan hubungan antara negara dan rakyatnya. Mengkaji fiqh siysah dusturiyah menjadi penting karena peraturan perundang-undangan mengatur segala aspek kehidupan rakyat, kepentingan, hak dan kewajiban rakyat oleh pemerintah.
Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus mengacu pada nash al-Qur'an dan as Sunnah dan juga prinsip kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalil:
Â
"Mengambil kemaslahatan dan menolak kemudharatan"
   Oleh karena itu, pemerintah dalam membuat suatu kebijakan politik harus mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan juga kemaslahatan rakyat. Menurut Abd al Wahab Khallaf, perumusan undang-undang dalam prinsip Islam adalah jaminan hak asasi manusia dan persamaan kedudukan di hadapan hukum.Jika dalam konsep barat dikenal adanya teori trias politica, maka dalam Islam juga terdapat konsep pembagian kekuasaan yang terdiri dari al sulthah at tanfidziyah atau lembaga eksekutif, al sulthah at tasyri'iyah atau lembaga legislatif, dan al sulthah al qadh'iyah atau lembaga yudikatif.
   Tujuan dilakukannnya pembagian kekuasaan ini adalah untuk mengoptimalkan setiap tugas dan kewenangan yang diberikan kepada lembaga tersebut agar tidak terjadi penumpukan kewenangan dalam satu tangan lembaga saja. Demikian juga dalam lingkungan peradilan, pembagian kewenangan ini dikenal dalam istilah kompetensi atau wilayah yurisdiksi.Peradilan yang berarti bahwa setiap peradilan memiliki batas kewenangan dalam mengadili suatu perkara yang masuk kepadanya, baik hal tersebut dalam hal domisilinya ataupun dalam hal jenis atau objek perkaranya. Sehingga apabila batas yurisdiksi tersebut dilanggar atau tidak sesuai, maka peradilan yang menerima perkara tersebut memutuskan bahwa permohonan atau gugatannya tidak dapat diterima.Â