Apa tujuan hidup manusia?
Pertanyaan ini selalu menjadi hantu bagi manusia lainnya. Sesaat seseorang mahasiswa masuk semester akhir.Â
Mereka kadang-kadang dihantui dengan pertanyaan apa yang harus dilakukan setelahnya?, bagaimana jika lulus tak dapat kerja?, apakah yang harus dilakukan jika sudah bekerja?
Begitupun laki laki tua berumur 90 tahun yang memegang koran di pojok rumahnya. Ia mempertanyakan soal kehidupan setelahnya, apakah kehidupan setelah kematian ada?
Bagaimana jika tidak ada, dan bagaimana jika ada?. Laki laki tua itu dengan pesimisnya hidup dengan laju pertandingan rasionalitas. Ketidakpuasan pada kehidupan.Â
Adapun seorang perempuan pelacur yang mencari makan dengan menjual dirinya. Pasrah akan keadaan, seandainya ia hidup tanpa menjual dirinya. Bisakah ia makan di tempat mewah, bisakah ia menikmati baju-baju mahal yang branded dipakai setiap harinya jika ia tidak menjual dirinya?
Seringkali ia memikirkan itu, tidak puas akan dunia yang penuh kebohongan ini. Ia selalu di nasehati untuk berubah, namun ketika ia memulai dengan kebaikan.Â
Banyak halangan, bahkan ketidaknyamanan setiap hari didapatkan. Tentu nasehat bahagia di akhir selalu menjadi doktrin aksioma, akan tetapi menjadi pertanyaan kembali kapan yang akhir itu didapatkan?
Bukan hanya tiga kasus tersebut, lelaki pecundang yang kabur dari rumah karena tidak memiliki tujuan hidup. Bukan masalah keluarga yang membuatnya seperti itu, namun krisis identitas setelah belajar banyak dari guru dan buku. Ia terlempar ke dalam gua ketidaktahuan.Â
Tidak satupun yang menolongnya, identitas dirinya hanyalah cerita kebodohan dahulu. Ia pernah mengenal dirinya sebagai yang "aku" Pada zamanya. Namun, ketika ia tahu dari pemahaman, sejak itulah ia berada pada gua krisis. Tidak ada harapan orang menolongnya.Â
Dari beberapa kasus tersebut terdapat satu bulatan konklusi yang sama, bahwa mereka menanyakan soal problem hidup. Tepatnya bagaimana hidup ini?
Apa kemungkinan kehidupan setelahnya? Apakah benar manusia menikmati hidupnya? Dan, lebih radikal lagi adalah apakah hidup memiliki makna?
ABSURDISME ADALAH MAKNA HIDUP YANG TAK BERMAKNA.
Seringkali kita mendengar diksi absurd, ia adalah konsep yang tidak jelas pada intinya. Absurd adalah konsep yang menyatakan bahwa sesuatu hal tidak masuk akal, tidak memiliki makna yang jelas.Â
Selalu ada ketidaknyamanan dalam memberikan makna. Sehingga, Absurd bagai sebuah ketidakjelasan pada sesuatu yang dimaknai.Â
 jika menegok pada kisah diatas. Bagaimana kisah seseorang yang krisis pada identitas, krisis pasa kehidupan, krisis pada hal-hal metafisika, bahkan krisis pada ketidaktahuan menjadi satu formulasi keberangkatan yang jelas, bahwa kondisi saat itulah manusia mengalami kehidupan Absurd.Â
Kehidupan ini mendemonstrasikan bahwa tidak ada makna dalam hidup. Setiap harinya manusia menjalani hidup dengan tenang, memiliki teman, pacar dan bahkan keluarga yang membuatnya bahagia.Â
Setiap hari selalu ingin bahagia, bahkan dengan adanya orang lain, setiap diri memiliki keinginan untuk selalu hidup untuk membahagiakan.Â
Namun, ketika mencerna lebih dalam lagi. Bagaimana hidup ini pada hakikatnya. Maka, ditemukan satu problem besar bahwa manusia pada akhir nya tidak memiliki makna hidup.Â
Semua manusia selalu memberikan konsep luar biasa pada makna hidup, kadang-kadang setiap persona memiliki idealisme hidup yang seharusnya.Â
Bahkan di bilik lain, realisme kehidupan di demonstrasi kan sebagai yang lebih bisa dipergunakan dalam memaknai hidup. Hingga pada akhirnya, bagaimana hidup yang semestinya?.Â
Absudisme memposisikan diri manusia pada ketidakbermaknaan hidup, selalu ada pertanyaan yang tak jelas dan solusi bersama yang tak bisa dituju.Â
Manusia seringkali memiliki visi misi yang progres, namun ia tidak inheren pada dirinya. Yang ada hanyalah sebuah asumsi, bahkan hipotesa hidup yang semestinya.Â
Padahal, hidup semestinya adalah hidup yang tak jelas ini. Tak ada makna dalam hidup ini, selalu ada ketidaktahuan, ketika lapar maka akan makan, ketika ngantuk maka akan tidur.
Namun bagaimana dengan hidup?, apakah semua yang dijalani selalu mendepankan kausalitas tersebut. Namun, selalu ada pertanyaan dibalik ketidaktahuan, hingga pada akhirnya manusia mengkonsepkan diri pada hidup yang tak bermakna ini.Â
Selalu ada makna subjektif, makna mandiri dalam setiap manusia. Pada akhirnya, manusia menemukan makna pada alasan yang sementara yang membuat diri mereka tenang.Â
Terjebak pada ilusi hidup yang tidak jelas ada makna. Absurditas menerangkan hal yang sama bahwa hidup tidak ada yang menghinherenkan makna kehidupan. Melainkan manusia pada persona memiliki kebebasan memaknai hidup.Â
Setiap orang bebas menceritakan, memberi makna dan mendogmatiskan bagaimana seharusnya hidup secara mandiri. Seperti halnya dikatakan filosof sebelum nya, bahwa hidup yang dimaknai, adalah hidup yang pantas dihidupi.Â
REFLEKSINYA....Â
Mendengar filosofi absurdime tidak lepas dari kisah mitologi yunani bernama Sisyphus, ia adalah lelaki yang di hukum dewa zeus untuk mendorong batu ke atas bukit, kemudian setelah mencapai kepuncak, maka batu itu akan kembali lagi ke bawah.Â
Kemudian Sisyphus akan mendorong batu itu lagi ke puncak, sampai seterusnya. Dari kisah inilah kita mendapatkan satu gambaran hidup yang absurd, hidup yang seperti itu saja setiap harinya.Â
Kita seperti Sisyphus yang mendorong batu ke puncak dan mengulanginya. Hidup yang kadang bahagia, kecewa, sedih, tertawa, biasa saja, dan lainnya.Â
Selalu ada kehidupan Sisyphus dalam diri kita, namun kita sendiri yang jarang menyadari hal tersebut. Mengeluh akan keadaan, namun pada situasi lain kita senang pada kehidupan.Â
Selalu mempertanyakan hidup yang tidak jelas ini, namun sisi lain selalu ada kesenangan setelah mencapai tujuan. Bagaimana memaknai hidup sebenarnya?Â
meskipun dalam filosofi absurdisme ditemukan fakta bahwa hidup kita seperti ini ini saja. Tidak ditemukan makna jelas dalam hidup. Kita hidup untuk apa dan bagaimana?
Tentu akan bermunculan berbagai jawaban dari sisi agama, moralitas, spiritualitas, bahkan dari segi pengetahuan yang terbatas. Tentu hal demikian menjawab hasil refleksi kehidupan absurd bahwa hidup tidak memiliki konsensus objektif, selalu ada ruang persona atau kelompok tertentu untuk menjawabnya.Â
Sehingga, kembali pada solusi yang ditawarkan, bahwa kehidupan yang kita maknai akan lebih leluasa di nikmati jika setiap kita memilih nya. Kita sendirilah yang memiliki hak untuk memaknai hidup kita sendiri.Â
Dengan demikian hidup absurditas tersebut sedikit tidak bisa di hadapi. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan absurd seringkali menghantui kita, bukan semua orang tapi hampir rata-rata.
Namun, kembali pada satu inferensi dari ungkapan sebelumnya, bahwa kita sendiri (persona) lah yang memiliki hak untuk hidup dan berhak memaknai hidup. Karena hidup yang dimaknai patut untuk dihidupi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H