Kita seperti Sisyphus yang mendorong batu ke puncak dan mengulanginya. Hidup yang kadang bahagia, kecewa, sedih, tertawa, biasa saja, dan lainnya.Â
Selalu ada kehidupan Sisyphus dalam diri kita, namun kita sendiri yang jarang menyadari hal tersebut. Mengeluh akan keadaan, namun pada situasi lain kita senang pada kehidupan.Â
Selalu mempertanyakan hidup yang tidak jelas ini, namun sisi lain selalu ada kesenangan setelah mencapai tujuan. Bagaimana memaknai hidup sebenarnya?Â
meskipun dalam filosofi absurdisme ditemukan fakta bahwa hidup kita seperti ini ini saja. Tidak ditemukan makna jelas dalam hidup. Kita hidup untuk apa dan bagaimana?
Tentu akan bermunculan berbagai jawaban dari sisi agama, moralitas, spiritualitas, bahkan dari segi pengetahuan yang terbatas. Tentu hal demikian menjawab hasil refleksi kehidupan absurd bahwa hidup tidak memiliki konsensus objektif, selalu ada ruang persona atau kelompok tertentu untuk menjawabnya.Â
Sehingga, kembali pada solusi yang ditawarkan, bahwa kehidupan yang kita maknai akan lebih leluasa di nikmati jika setiap kita memilih nya. Kita sendirilah yang memiliki hak untuk memaknai hidup kita sendiri.Â
Dengan demikian hidup absurditas tersebut sedikit tidak bisa di hadapi. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan absurd seringkali menghantui kita, bukan semua orang tapi hampir rata-rata.
Namun, kembali pada satu inferensi dari ungkapan sebelumnya, bahwa kita sendiri (persona) lah yang memiliki hak untuk hidup dan berhak memaknai hidup. Karena hidup yang dimaknai patut untuk dihidupi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H