"Ih, ngambek. Jangan dong, nanti cantikmu hilang," rayumu, lalu meraihku dalam pelukan. Tetapi aku kadung kesal dan cemberut hingga beberapa menit lamanya.
"Sasi, kamu itu masih sama. Dari dulu tak berubah. Kepolosan dan cemberutmu membuat aku semakin sayang padamu," katamu.
"Huh, apa sih?" kataku pura-pura marah.
Tak urung pujianmu yang terakhir membuat hatiku luluh dan lumer seperti coklat kepanasan.Â
Ah, ingatanku kembali mengembara. Daun-daun kering berguguran. Memberikan keliaran di alam dekat rumah barumu. Satu daun jatuh tepat di pangkuan. Lalu aku mengambilnya, memilin daun menjadi satu butiran seperti kelereng. Melemparnya, membiarkan jatuh liar ke tanah.
Pikiran jauhku, memberikan ingatan hingga beberapa minggu ke belakang. Suatu hari, kamu membawakanku seikat bunga mawar. Tumben. Tak biasanya begitu.
"Aku rasa, mawar ini cantik sepertimu. Harumnya menggambarkan kecantikan hatimu."
"Kamu berlebihan."
"Sungguh, aku tak bohong."
Rasa bahagiaku melebihi aliran angin yang tiba-tiba berhembus mengenai cuping telinga. Wajahku memerah.
"Sasi, saat kesakitanku ini, kamu masih setia di sampingku. Aku sangat berterimakasih padamu."