Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tentang Mawar di Jambangan

12 September 2023   14:04 Diperbarui: 12 September 2023   14:50 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta.

Hawa sejuk hari ini membawa pikiranku mengelana. Cuaca panas efek El Nino tak mempengaruhi suasana di sini. Angin sepoi membawa kembara pikiranku:  kepadamu.

Sebuah pohon besar, menaungi rumah barumu. Aku datang, entah keberapa kalinya. Aku tak menghitungnya. Mana pernah menghitung, jika bertemu denganmu saja adalah suatu kebahagiaan?

"Aku ingin memindahkan ingatan kepadamu," katamu.

"Bagaimana bisa? Kamu aneh," jawabku.

"Serius," katamu sambil meminta agar aku percaya.

"Memindahkan ingatan? Yang benar saja, Aku nggak ngerti, " jawabku pasrah.

Sungguh, kadang kamu berkata di luar nalarku. Lalu aku melihat kamu tertawa, hingga terlihat gigi rapimu.

"Mengapa kamu tertawa? Apakah aku lucu di matamu?" kataku kesal.

"Kamu masih seperti yang sudah-sudah," katamu sambil tetap tertawa.

"Memangnya kenapa? Apakah aku begitu jelek di matamu?" Aku mulai tak sabar dengan sikapmu. Hampir saja buliran bening jatuh di sudut mata dan aku ingin berlari meninggalkanmu. 

"Ih, ngambek. Jangan dong, nanti cantikmu hilang," rayumu, lalu meraihku dalam pelukan. Tetapi aku kadung kesal dan cemberut hingga beberapa menit lamanya.

"Sasi, kamu itu masih sama. Dari dulu tak berubah. Kepolosan dan cemberutmu membuat aku semakin sayang padamu," katamu.

"Huh, apa sih?" kataku pura-pura marah.

Tak urung pujianmu yang terakhir membuat hatiku luluh dan lumer seperti coklat kepanasan. 

Ah, ingatanku kembali mengembara. Daun-daun kering berguguran. Memberikan keliaran di alam dekat rumah barumu. Satu daun jatuh tepat di pangkuan. Lalu aku mengambilnya, memilin daun menjadi satu butiran seperti kelereng. Melemparnya, membiarkan jatuh liar ke tanah.

Pikiran jauhku, memberikan ingatan hingga beberapa minggu ke belakang. Suatu hari, kamu membawakanku seikat bunga mawar. Tumben. Tak biasanya begitu.

"Aku rasa, mawar ini cantik sepertimu. Harumnya menggambarkan kecantikan hatimu."

"Kamu berlebihan."

"Sungguh, aku tak bohong."

Rasa bahagiaku melebihi aliran angin yang tiba-tiba berhembus mengenai cuping telinga. Wajahku memerah.

"Sasi, saat kesakitanku ini, kamu masih setia di sampingku. Aku sangat berterimakasih padamu."

"Biasa saja kali, mas. Bukankah kamu kekasih sejati? Tak mungkin aku bisa berpaling darimu."

Aku tahu, suatu hari nanti, akan tiba kita berjalan pada jalur kehidupan yang berbeda. Tapi, boleh kan, jika aku mengharap suatu mukjizat? Aku ingin menikmati hari tak berjeda denganmu.

Aku menaruh bunga mawar mengisi jambangan di ruang tengah, agar aku selalu bisa memandang dan menghirup bau harumnya. 

"Setelah kita berpisah, kamu boleh memilih seseorang yang kamu sukai, asal bisa membuatmu bahagia." katamu.

Aku marah mendengar kata-katamu. Bunyi sesegukan nyaris terdengar, jika saja aku tak menahannya.

"Kamu tak boleh ngomong seperti itu. Bukankah kamu berjanji akan bersamaku untuk waktu yang tak terhingga? Kamu harus berjanji, akan saling menunggu untuk bisa bersatu kembali. Jika aku yang pergi lebih dulu, aku akan menunggumu di sana."

"Sasi, aku yakin, aku yang akan pergi lebih dulu,"

Kata-kata itu, adalah hal yang paling aku benci. Aku marah semarah-marahnya.

Aku pandangi rumah barumu. Taburan mawar membawa harum saat angin melintas, lalu sepoinya mengenai cuping telingaku, "Sasi, hari ini kamu cantik," Seperti sebuah bisikan suara.

"Terimakasih, mas. Kamu telah memberi warna kehidupan yang begitu indah seperti pelangi."

Sebuah jambangan dari kaca berisi air dengan satu ikat bunga mawar sebagai tanda cinta dariku, memancarkan cahaya kilauan tertimpa matahari. Aku beranjak dan berpamitan, berjanji akan sering berkunjung.

Mas, kehidupan itu mengalir, bagai aliran air sungai. Menderas dan mengikuti alirannya. Di dalam perjalanannya, kehidupan akan menemui berbagai kisah dan cerita. 

Kadang menemui aliran yang berbatu, berkelok-kelok atau aliran tenang. 

Saat aliran melewati bebatuan, akan berisik, ramai. Meski begitu, aliran sungai akan tetap berjalan. Tak peduli dengan keriuhan, ramai atau berisik. Kehidupan akan tetap berjalan. 

Saat menemui aliran berkelok, aliran sungai akan tetap berjalan dan berjalan, meski harus berliku dan berkelok. 

Saat aliran tenang dan menghanyutkan, aliran akan tetap berjalan, meski tenang airnya. Zona nyaman ketenangan bahkan kadang-kadang melenakan. Jika tak hati-hati akan membuat kesalahan. Baik yang disengaja ataupun yang tidak. Begitulah kehidupan.

Jika saatnya tiba, akan berakhir di suatu tempat bernama muara. 

Muara akan membawanya ke lautan luas tak berbatas. Selesailah kehidupan. Kemudian sebuah kehidupan itu akan menemui kehidupan baru di alam berbeda yang lebih abadi. Di sanalah, aku harap kamu menungguku.

Sedangkan aku, melanjutkan kehidupan yang terus berjalan. Kehidupan ini tak harus merasa sempurna, seperti saat kamu di sisiku. 

Aku akan siap jika ada masalah yang datang dan pergi. Jika tak begitu, bagaimana aku bisa merasakan tarikan nafas secara bebas?

"Inilah hidup. Semerdekamu," kataku pada diri sendiri.

Segala urusan terasa membayang tak pernah berjeda. Bagiku sangat mudah mengeluarkan segala gundah dan gulana. Aku bersyukur bahwa aku masih memiliki passion yang membawakan hingga pada situasi yang sekarang.

Memandang mawar di jambangan membuatku terhibur, melupakan masalah yang belakangan membelenggu, meski aku tak lagi bisa curhat padamu.

Kamu di kejauhan, tampak memberikan semangat. Tersenyum.  Biar saja aku merasa halu dengan situasi ini. Aku begitu sayang padamu. Tak bisa melepaskan ingatan tentangmu, walau sekejap. Bagiku, kamu masih ada di sini, di hati yang paling dalam. 

Seperti halnya hari ini dan kemarin, hari yang tak sama dalam hitungan angka, tetapi masih sama dalam hal rasa. Sebuah pengulangan yang tak akan habis, berulang-ulang, dan aku tak akan pernah bosan menunggu, untuk bisa bertemu denganmu.

Semarang, 12 September 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun