"Biasa saja kali, mas. Bukankah kamu kekasih sejati? Tak mungkin aku bisa berpaling darimu."
Aku tahu, suatu hari nanti, akan tiba kita berjalan pada jalur kehidupan yang berbeda. Tapi, boleh kan, jika aku mengharap suatu mukjizat? Aku ingin menikmati hari tak berjeda denganmu.
Aku menaruh bunga mawar mengisi jambangan di ruang tengah, agar aku selalu bisa memandang dan menghirup bau harumnya.Â
"Setelah kita berpisah, kamu boleh memilih seseorang yang kamu sukai, asal bisa membuatmu bahagia." katamu.
Aku marah mendengar kata-katamu. Bunyi sesegukan nyaris terdengar, jika saja aku tak menahannya.
"Kamu tak boleh ngomong seperti itu. Bukankah kamu berjanji akan bersamaku untuk waktu yang tak terhingga? Kamu harus berjanji, akan saling menunggu untuk bisa bersatu kembali. Jika aku yang pergi lebih dulu, aku akan menunggumu di sana."
"Sasi, aku yakin, aku yang akan pergi lebih dulu,"
Kata-kata itu, adalah hal yang paling aku benci. Aku marah semarah-marahnya.
Aku pandangi rumah barumu. Taburan mawar membawa harum saat angin melintas, lalu sepoinya mengenai cuping telingaku, "Sasi, hari ini kamu cantik," Seperti sebuah bisikan suara.
"Terimakasih, mas. Kamu telah memberi warna kehidupan yang begitu indah seperti pelangi."
Sebuah jambangan dari kaca berisi air dengan satu ikat bunga mawar sebagai tanda cinta dariku, memancarkan cahaya kilauan tertimpa matahari. Aku beranjak dan berpamitan, berjanji akan sering berkunjung.