Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Suatu Pertanda

5 Agustus 2023   10:14 Diperbarui: 5 Agustus 2023   14:49 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

Jantungku serasa berhenti berdetak, mendengar namaku terpilih dan ditunjuk oleh Sang Ketua. Aku bukannya tak mau. Bukankah masih banyak senior lebih layak untuk menduduki jabatan itu?

Kata mereka, ada aturan kesetaraan gender. Harus ada anggota legistatif perempuan. Bagaimana aku bisa menolak? Aku hanya menjalankan apa yang ada di depan mata. Ini adalah sebuah tugas yang harus diemban.

Sebenarnya aku tak ingin menjelekkan kandidat lain. Tetapi mereka hanya menginginkan jabatan saja. Demi itu mereka rela berbagai cara. Tidak tulus. 

Bahkan sebelum penentuan, mereka mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi. Di luar nalar. Banyak dana keluar. Padahal, belum tentu bisa lolos. Aku tak suka dengan cara yang seperti itu. Ketulusan dan kepedulianku pada orang kecil, menjadikan Sang Ketua memilihku.

Berita-berita itu menyudutkan posisiku sebagai salah satu calon anggota legislatif. Aku mampu melampauinya. Baliho yang terlanjur terpampang di berbagai sudut jalan protokol, membuktikan bahwa aku serius. 

Padahal sebelum pencalonan terjadi, banyak sekali kejadian-kejadian aneh menghampiri. Hampir tak percaya, tapi itu nyata di hadapanku. Aku tak mampu menghadapinya, jika tak ada dukungan mengalir.

Baca juga: Cerpen | Denada

***

Aku percaya pada suatu pertanda, tapi bukan mutlak. Pertanda akan menghampiriku, lalu aku tak langsung mengiyakan. Aku harus menganalisanya terlebih dahulu.

Pertanda itu membawaku pada suatu tempat yang tak kuketahui. Bagaimana bisa? Sebut saja aku orang skeptis. Tipe peragu yang kadang tak langsung mempercayai sesuatu. Menerjang kata hati. Padahal firasat sudah mengatakan: jangan! Apakah itu yang membuatku mudah terperdaya?

Hari itu aku terhipnotis! Aku mengira, pasti ada seseorang yang tidak suka, hingga aku berada di tempat ini. Aku bukan diajak paksa. Aku dengan senang hati mengikutinya. Gegabah. Tetapi aku seperti orang linglung. Huh! Setelah tersadar, aku menjadi marah. Mengapa aku sebodoh itu?

Oh, mengapa juga aku tadi tak mengindahkan nasihat Anggara untuk tidak pergi? Padahal ia sudah berpesan, jangan pergi sebelum ia menjemputku.

Panggilan itu! Setelah seseorang menepuk pundakku. Ia mengatakan aku harus mengikutinya.

"Ini adalah urusan penting. Ada hubungannya dengan masa depan pencalonan sebagai anggota legislatif. Ibu harus mengikuti saya," katanya. 

Mengapa aku begitu saja mempercayainya? Biasanya aku tidak begitu. Entahlah.

Setelah terpilih sebagai calon anggota legislatif, aku merasa diriku tak lagi menjadi milik diri sendiri. Itulah mengapa aku lebih terbuka. Termasuk pada hari itu cepat mempercayai orang lain. Atau karena pengaruh hipnotis?

***

Ruangan ini berukuran 3x4 meter. Lumayan lebar untuk ukuran sebuah ruangan. Dengan satu meja kerja dan kursi utama. Kemudian di ujung sana ada beberapa kursi tunggu. Entah tempat apa ini, tetapi aku yakin ini adalah sebuah ruang kerja. 

Aku seperti orang linglung, terduduk di satu kursi dengan tangan terikat. Sendirian. Hei, salah apa aku? Mengapa aku diperlakukan seperti ini? 

Sempat ingat tadi bertemu tiga orang tak dikenal. Apakah mereka yang melakukan hipnotis dan membawaku ke sini? Mengapa mengikatku? Aku tak mendapati luka yang ada di badan. 

Aku yakin ini adalah sebuah penculikan. Tujuannya apa menculikku? Ini pasti ada hubungannya dengan pencalonanku sebagai anggota dewan.

Baik, baik. Tetapi aku harus meloloskan diri dari tempat ini. Besok aku memiliki acara penting. Berkampanye sesuai dengan jadual milik partai. Jika tidak, pencalonanku dibatalkan. 

Aku mengalami ketakutan luar biasa. Badan menggigil. Seumur hidup, baru kali ini mengalaminya. 

Kepalaku sedikit berat dan pusing. Aku mengatur napas agar tak putus dan lebih tenang.

Srek! Aku berhasil membuka tali yang mengikatku. Ternyata tak begitu kencang. Heran, mengapa seperti sengaja tak terlalu kencang?

Segera aku menuju pintu yang tertutup. Sudah kuduga! Pasti terkunci dari luar. Aku menggerakkan gagang pintu dengan panik berkali-kali sambil berteriak. 

"Hei, ada orang di luar? Tolong buka pintunya!"

Hanya suara gema yang memantul, kemudian hening. Tak ada siapapun. Badanku lemas. Menyerah. Tak tahu harus minta pertolongan pada siapa. 

Aku mencari barang bawaan. Tas ransel kecil yang biasa kutenteng kemanapun pergi. Tak ada! Padahal didalamnya segala benda berharga, catatan, termasuk handphone.

Aku tertunduk. Lelah jiwa raga. Benar-benar terserap energiku. Tiba-tiba muncul ide. Entah kekuatan dari mana. 

Jepit rambut! 

Jepit tipis yang berwarna hitam kupakai untuk merapikan rambut saat memilinnya. Siapa tahu ini bisa berguna. Konon seperti di film yang sering kulihat, jepit kecil bisa untuk membuka pintu. Hanya mengandalkan keberuntungan, aku mencoba membuka pintu dengannya.

"Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini." kataku sambil mulai mengukrek lobang pintu.

Klek!

Pintu membuka! Semudah itu? Aku mengernyitkan dahi. Keheranan semakin menjadi. Tetapi aku mengabaikannya. Terpenting aku bisa lolos. 

Seandainya tas masih ada, aku akan meminta tolong pada Anggara kekasihku. Dia pasti akan secepat kilat datang ketika aku menelponnya. 

Aku menghela napas. Anganku melayang. Anggara, mengajak menikah secepatnya. Tapi aku menolaknya. Masih banyak cita-cita yang lebih penting sebelum menikah. 

Aku mencintainya. Itu modal awal untuk percaya pada rasa setiaku padanya. Aku lebih dahulu memilih konsentrasi pada niat demi kepentingan bersama. Bukan diriku sendiri.

Tiba-tiba di depan mata sudah ada orang tinggi besar dan menakutkan. Wajahku pias dan panik.

"Mau melarikan diri, Bu?" tanyanya sambil menyerigai. Aku ketakutan luar biasa dan badanku menggigil.

Ternyata tadi kunci terbuka olehnya dari luar. Pantas saja gampang.

Orang itu membentak, kemudian menyuruhku berjalan. Aku mengikutinya, meski ingin memberontak. Aku digiring ke sebuah ruangan lain, dalam bangunan yang sama pada sebuah rumah besar dengan interior mewah.

Seseorang duduk di kursi besar dengan posisi membelakangi. Tak tampak dirinya. Hanya ujung kepala yang sedikit menyembul di ujung atas kursi. Aku yakin, ia pasti bosnya. Apa tujuannya menculikku? Salah apa aku padanya? Aku seperti tertampar. Hatiku sakit.

"Hei, mengapa kau menculikku? Apakah aku salah? Tega kamu berbuat seperti ini!" teriakku memberanikan diri.

Kemudian orang itu membalikkan kursi. Wajah itu! Menyerigai penuh kemenangan. 

"Anggara?" seruku kaget.

"Kenapa? Kaget? Kau yang tega padaku, Jona. Mengapa kau menolak cintaku? Kamu lebih memilih jadi anggota dewan daripada aku!" bentaknya penuh emosi.

"Kau salah sangka, Anggara. Bukan itu maksudku. Aku..."

Anggara meraihku, dipeluknya kasar. Aku menjerit panik. 

Ia berbisik, "Seandainya kau tak menolaknya pada waktu itu, aku tak akan sekasar ini, Jona,"

"Kamu,"

Tiba-tiba suara sirene polisi terdengar jelas dari arah luar. Banyak anggota kepolisian mengepung rumah Anggara. Ia menyerah pada polisi. Tuduhan penculikan. 

Darimana polisi tahu aku di sini? Sinyal handphone yang ada di tas menjadi kunci. Tas itu tak jauh dari Anggara. Kak Dwi manajerku melapor kepada kepolisian saat aku menghilang semalaman. Polisi dengan sigap melacak. Syukurlah.

Wajah Anggara terlihat murung dan marah. Ia menatapku dengan mata elangnya. Aroma kebencian.

Aku merasa lega saat Anggara dibawa ke mobil polisi. Tetapi ada rasa iba padanya. Mengapa ia mampu berbuat jahat padaku? Hem. Aku menarik napas pelan. 

Aku tak mengalami luka. Sebenarnya Anggara sangat mencintaiku. Heran. Ia mampu berbuat di luar nalarnya. Ia tak mampu melukaiku, tetapi ia tega melakukan keinginan jahatnya agar aku gagal menjadi anggota dewan.

Sudah. Cukup cintanya sampai di sini. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jika kelak menjadi pasangan hidupnya.

Aku memaafkannya, walau butuh waktu. Ia pernah mengisi hatiku, meski aku belum sempat menerima lamarannya. Cintanya tak sampai. Aku harus lebih mawas diri. Siapa tahu, ia akan datang lagi padaku. Ia bisa menjadi lebih menakutkan. Cinta yang tak sampai, bisa menjadi tanda bahaya. Aku harus lebih hati-hati padanya.

Syukurlah, Tuhan masih sayang memberikan pertanda dengan peristiwa ini.

Oh, Anggara, sebenarnya setelah pencalonan selesai dan aku terpilih menjadi anggota dewan, aku berencana menerima lamaranmu. Semua sudah berakhir.

Orang yang memiliki ketangguhan pribadi tak akan pernah sakit hati. Ia tak akan mengijinkan hatinya untuk disakiti. Ia mampu memilih respon sesuai prinsip.

Aku tatap masa depan, berharap lebih cerah dari sebelumnya. Masa-masa tak menyenangkan, akan segera terlupakan. Pasti Tuhan memiliki rencana yang lebih indah buatku.

***

Semarang, 5 Agustus 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun