Kemudian orang itu membalikkan kursi. Wajah itu! Menyerigai penuh kemenangan.Â
"Anggara?" seruku kaget.
"Kenapa? Kaget? Kau yang tega padaku, Jona. Mengapa kau menolak cintaku? Kamu lebih memilih jadi anggota dewan daripada aku!" bentaknya penuh emosi.
"Kau salah sangka, Anggara. Bukan itu maksudku. Aku..."
Anggara meraihku, dipeluknya kasar. Aku menjerit panik.Â
Ia berbisik, "Seandainya kau tak menolaknya pada waktu itu, aku tak akan sekasar ini, Jona,"
"Kamu,"
Tiba-tiba suara sirene polisi terdengar jelas dari arah luar. Banyak anggota kepolisian mengepung rumah Anggara. Ia menyerah pada polisi. Tuduhan penculikan.Â
Darimana polisi tahu aku di sini? Sinyal handphone yang ada di tas menjadi kunci. Tas itu tak jauh dari Anggara. Kak Dwi manajerku melapor kepada kepolisian saat aku menghilang semalaman. Polisi dengan sigap melacak. Syukurlah.
Wajah Anggara terlihat murung dan marah. Ia menatapku dengan mata elangnya. Aroma kebencian.
Aku merasa lega saat Anggara dibawa ke mobil polisi. Tetapi ada rasa iba padanya. Mengapa ia mampu berbuat jahat padaku? Hem. Aku menarik napas pelan.Â