Klek!
Pintu membuka! Semudah itu? Aku mengernyitkan dahi. Keheranan semakin menjadi. Tetapi aku mengabaikannya. Terpenting aku bisa lolos.Â
Seandainya tas masih ada, aku akan meminta tolong pada Anggara kekasihku. Dia pasti akan secepat kilat datang ketika aku menelponnya.Â
Aku menghela napas. Anganku melayang. Anggara, mengajak menikah secepatnya. Tapi aku menolaknya. Masih banyak cita-cita yang lebih penting sebelum menikah.Â
Aku mencintainya. Itu modal awal untuk percaya pada rasa setiaku padanya. Aku lebih dahulu memilih konsentrasi pada niat demi kepentingan bersama. Bukan diriku sendiri.
Tiba-tiba di depan mata sudah ada orang tinggi besar dan menakutkan. Wajahku pias dan panik.
"Mau melarikan diri, Bu?" tanyanya sambil menyerigai. Aku ketakutan luar biasa dan badanku menggigil.
Ternyata tadi kunci terbuka olehnya dari luar. Pantas saja gampang.
Orang itu membentak, kemudian menyuruhku berjalan. Aku mengikutinya, meski ingin memberontak. Aku digiring ke sebuah ruangan lain, dalam bangunan yang sama pada sebuah rumah besar dengan interior mewah.
Seseorang duduk di kursi besar dengan posisi membelakangi. Tak tampak dirinya. Hanya ujung kepala yang sedikit menyembul di ujung atas kursi. Aku yakin, ia pasti bosnya. Apa tujuannya menculikku? Salah apa aku padanya? Aku seperti tertampar. Hatiku sakit.
"Hei, mengapa kau menculikku? Apakah aku salah? Tega kamu berbuat seperti ini!" teriakku memberanikan diri.