"Lalu?"
"Ternyata memang belum waktunya. Orangtuanya memaksa berpisah denganku. Apalah aku ini. Seorang seniman yang tak bisa diandalkan dalam bidang finansial. Lalu ia memutuskanku, karena ia lebih patuh pada orangtuanya. Aku tak menyalahkannya. Seharusnya memang begitu,"Â
Aksan menghela nafas panjang. Lalu meneruskan ceritanya.
"Sakit hatiku, Din. Dan sakit hati itu memacuku untuk menggila dalam berkarya."
Ya, ya, aku belum pernah bertemu sebelumnya dengan Aksan. Tetapi ia menganggapku lebih dari sekedar sahabat lama. Ceritanya mengalir tanpa sungkan. Atau karena kondisi dan situasi di sini yang menyebabkan menjadi cepat akrab? Senasib dan sama-sama terpapar? Merasa bahwa nyawa ini sedang dipertaruhkan antara ada dan tiada. Entah esok atau lusa. Atau bisa jadi keluar dari tempat isolasi dengan selamat.
"Karyaku menggila hingga banyak yang menyukainya. Lukisanku banyak diburu."Â
"Hei, kamu pelukis, ya? Apakah kamu ini Aksan Pribadi? Aku pernah mendengarnya, tetapi tak begitu mengenalnya. Hanya sekilas."
"Tak apa. Aku memang tak suka publikasi." katanya sambil tertawa berderai.
"Sombong kamu ya," godaku.Â
"Aku memang sukses, Din. Tetapi itu tak mengembalikan gadisku kembali. Karena ia telah dimiliki orang lain. Dan itu tak mungkin. Karena ia telah meninggal ketika melahirkan bayinya. Sedih sekali rasanya. Pilu dan nyeri di dada. Aku masih mencintainya."
"Maafkan aku. Ikut berduka."