"Ini untukmu, Dina. Rawatlah. Sebagai tanda cinta kasihku, meski aku tak bisa memilikimu."Â
Aku terseguk sendu. Ia mengucapkan salam perpisahan. Keesokan harinya, Seno pergi jauh. Sejauh kecewanya karena perbedaan yang tak bisa dipersatukan antara aku dan dia. Kadangkala aku masih mengutuk perbedaan itu. Mengapa harus ada, hingga menjauhkan cinta yang kubina bersama Seno tiga tahun lamanya.
Aku kemudian tenggelam dalam pekerjaan. Tak tanggung-tanggung, karierku cepat menanjak. Tetapi apapun itu, tak cukup melupakan keberadaan Seno dalam pikiranku. Hingga suatu hari kudengar Seno menikah dengan pilihan orangtuanya. Aku ikut berbahagia meski hatiku tercabik-cabik.
"Anda melamun? Memikirkan seseorang?"
"Oh, tidak. Silakan jika anda melanjutkan bercerita."
"Masih lama menunggunya? Boleh kan saya bercerita? Bisa saja kapan saja, waktu ini tak berpihak pada kita. Apa salahnya jika kita saling bercerita, walaupun saya baru mengenal anda. Saya merasa nyaman. Hei, bolehkah saya menyebut dengan aku saja? Rasanya tak enak. Dan anda kupanggil Dina?" Aku mengangguk. Biar saja. Dalam kondisi begini, siapapun bisa menjadi teman walau baru mengenal.Â
"Sebelum ini, aku belum pernah mengungkapnya pada seseorang. Bahkan aku tak punya sahabat yang bisa kuajak berbicara." Ia mulai berkisah.
"Lalu?"
"Aku pernah mengenal gadis. Baik hatinya. Kemudian kami saling jatuh cinta dan jadian. Tetapi tak lama. Ia sakit kemudian meninggalkan aku untuk selama-lamanya."
"Oh, ikut berduka."
"Tentu saja aku sangat bersedih, lama baru bisa move on, kemudian mengenal kembali dengan seseorang. Ia baik. Ia menyatakan suka kepadaku. Ia bagai membawa sebonggah kebahagiaan. Cinta yang ia bawa, menggantikan cintaku sebelumnya."