Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Cerpen | Lebaran Kedua Tanpa Mas Iwan

23 Mei 2020   18:38 Diperbarui: 23 Mei 2020   20:29 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta

Bapak dulu adalah pengepul sayur-mayur. Dari usaha menjual sayur yang ia dapatkan dari petani, lama-lama bisa menjadi usaha yang menjanjikan. Hingga akhirnya sukses dan bisa membeli rumah yang luas.

Bapak memang pekerja keras. Tetapi ada satu hal yang ia lupa. Bekerja itu juga butuh waktu istirahat. Tetapi ia sudah terlanjur bersemangat tanpa ingat waktu. Suatu hari ia pingsan, lalu berpulang dengan mendadak. Tanpa sempat berpamitan. 

Ibu sangat kehilangan. Justru di saat bisnis bapak sedang baik-baiknya. Dan bapak ketika itu baru saja bisa membelikan rumah baru buat ibu. Ia pergi untuk selama-lamanya.

Ibu cinta pada bapak. Dan tak bisa melupakannya. Ia berjanji akan menjaga rumah ini dengan penuh cinta, seperti cintanya kepada bapak.

***
Suatu hari Mas Iwan menelpon. Ia mengatakan tidak enak badan. Merasa seperti demam dan batuk kecil. Aku cemas. Bukankah itu gejala awal terkena virus yang mematikan itu? Aku menyuruhnya untuk ke dokter. Ia hanya mengatakan, "Iya dik, nanti aku ke dokter."

Aku lalu menyuruhnya meminum berbagai macam vitamin untuk menjaga kondisi. Kecemasan ini bagai bom waktu. Ingin meledak menunggu waktu. Jarak yang terbentang bagai sebuah pisau besar yang menyayat hati. Begitu tajamnya hingga tak terperi.

Aku menangis sejadinya. Ibu menenangkanku.

"Sabarlah Nayla. Istighfar. Berdoalah agar Mas Iwan baik-baik saja."

Tetapi apa yang menjadi milik-Nya, akan kembali pada masanya. Aku hanya diberi hak meminjamnya, untuk kucintai. Selebihnya mutlak milik-Nya.

Pintu terbuka pelan seperti biasa. Ibu menengokku sebentar dan menanyakan kabar. Apakah aku sudah salat isya atau belum. Dengan pelan juga pintu tertutup. Aku hanya termangu menatap malam dari kisi-kisi jendela. Menyelami hati, mengenang indah yang pernah ada.

"Mas Iwan, bagiku cinta itu tak berbatas. Aku ingin menjadikanmu jodohku, untuk selamanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun