Bapak dulu adalah pengepul sayur-mayur. Dari usaha menjual sayur yang ia dapatkan dari petani, lama-lama bisa menjadi usaha yang menjanjikan. Hingga akhirnya sukses dan bisa membeli rumah yang luas.
Bapak memang pekerja keras. Tetapi ada satu hal yang ia lupa. Bekerja itu juga butuh waktu istirahat. Tetapi ia sudah terlanjur bersemangat tanpa ingat waktu. Suatu hari ia pingsan, lalu berpulang dengan mendadak. Tanpa sempat berpamitan.Â
Ibu sangat kehilangan. Justru di saat bisnis bapak sedang baik-baiknya. Dan bapak ketika itu baru saja bisa membelikan rumah baru buat ibu. Ia pergi untuk selama-lamanya.
Ibu cinta pada bapak. Dan tak bisa melupakannya. Ia berjanji akan menjaga rumah ini dengan penuh cinta, seperti cintanya kepada bapak.
***
Suatu hari Mas Iwan menelpon. Ia mengatakan tidak enak badan. Merasa seperti demam dan batuk kecil. Aku cemas. Bukankah itu gejala awal terkena virus yang mematikan itu? Aku menyuruhnya untuk ke dokter. Ia hanya mengatakan, "Iya dik, nanti aku ke dokter."
Aku lalu menyuruhnya meminum berbagai macam vitamin untuk menjaga kondisi. Kecemasan ini bagai bom waktu. Ingin meledak menunggu waktu. Jarak yang terbentang bagai sebuah pisau besar yang menyayat hati. Begitu tajamnya hingga tak terperi.
Aku menangis sejadinya. Ibu menenangkanku.
"Sabarlah Nayla. Istighfar. Berdoalah agar Mas Iwan baik-baik saja."
Tetapi apa yang menjadi milik-Nya, akan kembali pada masanya. Aku hanya diberi hak meminjamnya, untuk kucintai. Selebihnya mutlak milik-Nya.
Pintu terbuka pelan seperti biasa. Ibu menengokku sebentar dan menanyakan kabar. Apakah aku sudah salat isya atau belum. Dengan pelan juga pintu tertutup. Aku hanya termangu menatap malam dari kisi-kisi jendela. Menyelami hati, mengenang indah yang pernah ada.
"Mas Iwan, bagiku cinta itu tak berbatas. Aku ingin menjadikanmu jodohku, untuk selamanya."