Hilal telah tampak. Sejak tadi diumumkan di televisi. Besok sudah lebaran. Azan isya baru saja terdengar. Sesaat berlalu kemudian disusul takbir yang menggema dari masjid yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.Â
Aku menghela nafas pelan. Teringat Mas Iwan. Dulu ia yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk berlebaran. Membersihkan rumah, membereskan segalanya. Hingga ia juga membantuku menata kue-kue kering dalam toples.
Anganku lepas. Mengembara menelusuri parit-parit kenangan. Gema takbir bersahutan di luar sana, menyaingi anganku yang lepas mengingatnya.
***
Pintu terbuka dengan sangat pelan. Tanpa suara. Ibu menengok ke kamar. Lalu bertanya, apakah aku sudah salat isya atau belum. Aku menjawab sebentar lagi. Kemudian dengan sangat pelan juga, ia menutup pintu itu, kembali tanpa suara.
Ibu memang perhatian padaku. Setiap malam selalu melakukan ritual tanpa suara untuk sekedar menengok ke kamar. Lalu bertanya, menanyakan keadaanku. Kemudian berlalu, menuju ke kamarnya sendiri.Â
Ritual itu dilakukan semenjak Mas Iwan tidak pulang. Sudah dua tahun. Ketika ada pandemi. Ia dulu memang merantau ke Jakarta. Bekerja di sana sebagai pegawai bank.
Tetapi karena pandemi yang tidak segera berlalu, bahkan menjadi-jadi, membuatku terpisah dari Mas Iwan. Ia tidak berani pulang karena takut menulari keluarga di sini. Apalagi ada ibu yang sudah sepuh.Â
Padahal dulu ia rutin pulang. Dua pekan sekali. Menengokku dan ibu. Membawa oleh-oleh kesukaanku, sekedar membuatku senang.
"Dik, sabar ya. Aku belum bisa pulang. Situasi baru tidak nyaman. Aku takut nulari kamu dan ibu. Tetap sabar dan hati-hati di rumah."
Tentu saja aku hanya bisa pasrah. Walaupun setiap hari terhubung dengannya melalui sambungan telepon, tetapi kerinduan untuk bertemu tetap membara.Â
"Kita pasti bertemu lagi, dik. Jangan takut. Ini takdir yang membuat kita seperti ini. Aku mencintaimu, selalu. Tak perlu ragu."
Pada waktu itu pandemi memang sedang merebak. Banyak yang sudah menjadi korban. Dan Mas Iwan takut menjadi pembawa penyakit itu, meskipun ia merasa sehat.Â
Kebiasaannya yang disiplin dari dulu, membuatnya patuh pada anjuran untuk tidak pulang ke rumah. Ia lakukan agar tak menularkan virus.Â
Satu bulan berlalu, masih juga belum ada kabar tentang penurunan virus ini. Bahkan semakin meluas. Mas Iwan takut, jika ia pulang, akan menularkannya. Mas Iwan begitu sayang padaku juga Ibu.Â
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang tidak terlihat. Sangat mematikan bagi orang yang tidak kuat imunnya.Â
"Maaf dik, aku masih belum bisa pulang." ujarnya sendu. "Aku kangen padamu. Betapa kerinduan ini selalu mengingatku padamu. Tetapi... aku belum bisa pulang. Sungguh, aku ingin memelukmu," katanya dari layar ponsel.Â
Ia menghubungiku lewat video call. Wajahnya terlihat pucat. Aku kasihan padanya. Ingin sekali aku lari dalam pelukannya segera. Tetapi jarak dan waktu memisahkan.
Aku terseguk pilu. Betapa rindu itu sangat menyiksa.Â
***
Memang antara aku dan Mas Iwan sepasang suami istri. Tetapi ketika ia harus merantau ke Jakarta, aku tidak bisa turut serta. Ada hal yang tak bisa kutinggalkan di sini.Â
Ibu. Siapa yang akan menjaganya jika aku ikut ke Jakarta? Apalagi Mas Iwan di sana belum begitu mapan. Masih tinggal di kontrakan. Tidak tega jika harus membawa serta Ibu ke sana.Â
Sedangkan rumah di sini besar, amat memadai untuk tempat tinggal. Nyaman dan ibu memiliki memori kuat di rumah ini.
"Bapakmu dulu mendapatkan rumah ini dengan susah payah, Na. Ibu nggak bisa melupakan sejarahnya. Ibu harus menjaganya. Rumah ini ibarat nyawa Bapak."
Bapak dulu adalah pengepul sayur-mayur. Dari usaha menjual sayur yang ia dapatkan dari petani, lama-lama bisa menjadi usaha yang menjanjikan. Hingga akhirnya sukses dan bisa membeli rumah yang luas.
Bapak memang pekerja keras. Tetapi ada satu hal yang ia lupa. Bekerja itu juga butuh waktu istirahat. Tetapi ia sudah terlanjur bersemangat tanpa ingat waktu. Suatu hari ia pingsan, lalu berpulang dengan mendadak. Tanpa sempat berpamitan.Â
Ibu sangat kehilangan. Justru di saat bisnis bapak sedang baik-baiknya. Dan bapak ketika itu baru saja bisa membelikan rumah baru buat ibu. Ia pergi untuk selama-lamanya.
Ibu cinta pada bapak. Dan tak bisa melupakannya. Ia berjanji akan menjaga rumah ini dengan penuh cinta, seperti cintanya kepada bapak.
***
Suatu hari Mas Iwan menelpon. Ia mengatakan tidak enak badan. Merasa seperti demam dan batuk kecil. Aku cemas. Bukankah itu gejala awal terkena virus yang mematikan itu? Aku menyuruhnya untuk ke dokter. Ia hanya mengatakan, "Iya dik, nanti aku ke dokter."
Aku lalu menyuruhnya meminum berbagai macam vitamin untuk menjaga kondisi. Kecemasan ini bagai bom waktu. Ingin meledak menunggu waktu. Jarak yang terbentang bagai sebuah pisau besar yang menyayat hati. Begitu tajamnya hingga tak terperi.
Aku menangis sejadinya. Ibu menenangkanku.
"Sabarlah Nayla. Istighfar. Berdoalah agar Mas Iwan baik-baik saja."
Tetapi apa yang menjadi milik-Nya, akan kembali pada masanya. Aku hanya diberi hak meminjamnya, untuk kucintai. Selebihnya mutlak milik-Nya.
Pintu terbuka pelan seperti biasa. Ibu menengokku sebentar dan menanyakan kabar. Apakah aku sudah salat isya atau belum. Dengan pelan juga pintu tertutup. Aku hanya termangu menatap malam dari kisi-kisi jendela. Menyelami hati, mengenang indah yang pernah ada.
"Mas Iwan, bagiku cinta itu tak berbatas. Aku ingin menjadikanmu jodohku, untuk selamanya."
Angin sepoi perlahan mengalir. Bagai memberi sinyal keberadaannya.
Gema takbir di luar sana semakin ramai dari masjid dekat rumah. Menyebutkan kebesaran Allah.Â
Allahu akbar Allahu akbar la ilaha illallahu wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahi-l-hamd.
Semarang, 23 Mei 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H