Pada waktu itu pandemi memang sedang merebak. Banyak yang sudah menjadi korban. Dan Mas Iwan takut menjadi pembawa penyakit itu, meskipun ia merasa sehat.Â
Kebiasaannya yang disiplin dari dulu, membuatnya patuh pada anjuran untuk tidak pulang ke rumah. Ia lakukan agar tak menularkan virus.Â
Satu bulan berlalu, masih juga belum ada kabar tentang penurunan virus ini. Bahkan semakin meluas. Mas Iwan takut, jika ia pulang, akan menularkannya. Mas Iwan begitu sayang padaku juga Ibu.Â
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang tidak terlihat. Sangat mematikan bagi orang yang tidak kuat imunnya.Â
"Maaf dik, aku masih belum bisa pulang." ujarnya sendu. "Aku kangen padamu. Betapa kerinduan ini selalu mengingatku padamu. Tetapi... aku belum bisa pulang. Sungguh, aku ingin memelukmu," katanya dari layar ponsel.Â
Ia menghubungiku lewat video call. Wajahnya terlihat pucat. Aku kasihan padanya. Ingin sekali aku lari dalam pelukannya segera. Tetapi jarak dan waktu memisahkan.
Aku terseguk pilu. Betapa rindu itu sangat menyiksa.Â
***
Memang antara aku dan Mas Iwan sepasang suami istri. Tetapi ketika ia harus merantau ke Jakarta, aku tidak bisa turut serta. Ada hal yang tak bisa kutinggalkan di sini.Â
Ibu. Siapa yang akan menjaganya jika aku ikut ke Jakarta? Apalagi Mas Iwan di sana belum begitu mapan. Masih tinggal di kontrakan. Tidak tega jika harus membawa serta Ibu ke sana.Â
Sedangkan rumah di sini besar, amat memadai untuk tempat tinggal. Nyaman dan ibu memiliki memori kuat di rumah ini.
"Bapakmu dulu mendapatkan rumah ini dengan susah payah, Na. Ibu nggak bisa melupakan sejarahnya. Ibu harus menjaganya. Rumah ini ibarat nyawa Bapak."