Pancing mulai dikeluarkan, mereka bersiap ke arah kolam pancing. Dan saya? Duduk manis di warung milik Bu Pariyah. Selain ada pemancingan, Bu Pariyah juga membuka warung yang menyediakan makanan. Warung kecil dan sederhana.Â
Nah ini. Saya kepo dengan menu utama dari warung Bu Pariyah. Gendar Pecel. Jarang saya menemui menu ini, kecuali di tempat tertentu. Misalnya di pedesaan seperti di sini. Hem. Seperti apa rasanya, ya? Saya melihat warungnya cukup bersih. Maka saya tak ragu untuk memesannya.Â
Beras dicampur bahan pembuat gendar, kemudian dimasak hingga matang. Jangan lupa diaduk-aduk agar tak gosong. Lalu ditumbuk hingga halus, di tempatkan dalam sebuah wadah, dan siap disajikan.Â
Hem, rasa gendar ini enak. Pas, tidak terlalu banyak blengnya. Jadi masih dalam taraf aman untuk disantap. Sayur yang baru matang dan tidak terlalu lama memasaknya, sehingga segar. Kres-kres dari sayur memberi sensasi senang.
Bumbu pecelnya asin manis tapi tak terlalu manis. Ia membuat bumbu pecel racikan sendiri. Hem. Sedap. Khas masakan desa. Meski memasaknya tidak memakai kayu dan memakai kompor gas.
Tak terasa sepiring gendar pecel telah berpindah tempat. Membuat penuh isi perut. Sensasi pedesaan ada di dalamnya, berbeda dengan pecel pada umumnya yang biasa saya temui. Harganya pun murah meriah.
Satu porsi gendar pecel hanya 6.000 rupiah. Gorengan seribu rupiah. Es teh 3.000 rupiah. Lapar hilang dan sensasi rasa baru telah masuk koleksi memori kuliner saya.Â
Saya bertanya kepada salah satu dari mereka, "Dik, kamu sudah dapat ikan berapa?" Ia menjawab, "Sudah dapat tiga, Bun. Ayah dua ekor." Oh, baiklah, saya sedikit lega. Tak ada yang pulang sambil cemberut karena tak mendapatkan ikan.Â