Mereka masih asyik dan saya membiarkannya. Nanti saat mereka sudah merasa puas, pasti akan mengajak pulang. Sayapun menuju warung Bu Pariyah kembali. Duduk dan mengajaknya ngobrol. Dari tadi saya perhatikan ia begitu sibuk melayani pembeli, yang kebanyakan adalah pemancing. Bahkan tetangganya banyak juga yang membeli gorengan.Â
Ia sempat keteteran karena tidak ada yang membantu. Beberapa orang harus kecewa karena gorengan belum matang. Ia bilang, ini hari Minggu, maka ramai pembeli dan pemancing yang berkunjung. Dan biasanya ada anaknya yang membantu. Sedangkan hari itu anaknya ada kepentingan lain sehingga tidak bisa membantu.
Saya melihat ada durian yang tergantung di depan warung. Kata Bu Pariyah, tinggal satu. Saya bertanya, yang itu harganya berapa? 80.000 rupiah. Ini durian enak. Meskipun dalamnya putih, tapi manis sekali. Durian berpindah tangan, akan saya bawa pulang ke rumah.Â
Saatnya pulang. Dan sesuai janjinya, maka kami mampir membeli durian. Padahal tadi saya sudah kepencut durian ketika di warungnya Bu Pariyah. Wah, ia menepati janjinya.Â
Kami berhenti di sebuah kios durian. Saya minta satu dibuka dan makan di tempat. Warnanya putih. Dan wow, manis sekali. Ketika saya bertanya pada penjualnya, ini durian apa?
Ia hanya tersenyum, dan menjawab, "Kalau orang sini lebih mengenal ini adalah durian kangen." Lalu kami ikutan tersenyum. Terserah dirimu deh, bu. Karena saya tidak hapal dengan jenis durian, maka manut saja.Â
Alhamdulillah, pulang ke rumah dengan suasana yang lebih segar. Mengenal kuliner Gendar Pecel dan durian dari Desa Brongkol Jambu Semarang. Dan keesokan harinya, kami bertiga kembali kepada rutinitas seperti semula.Â
Wahyu Sapta.
Semarang, 12 Januari 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H