Hari Minggu adalah hari yang menyenangkan, tatkala bisa berlibur bersama keluarga. Tak harus ke tempat wisata yang sudah dikenal, tetapi saat jalan-jalan ke desa menikmati pemandangan alam, bisa membuat hati lebih senang.
Menemukan hal-hal baru, belajar ke alam, dan menyapa orang-orang yang  baru dikenal. Menuruti hati, kemana arah melaju.
Kami bertiga, di hari Minggu (12/01/20) sepakat ke Ambarawa. Suasana alam yang masih hijau, menjadi pilihan. Apalagi dimusim penghujan ini, daun-daun kering sisa riuh kemarau dulu, telah tergantikan oleh hijaunya pucuk baru bertunas.
Ketika dari rumah, kami harus melewati jalan tol, kemudian keluar GTO Bawen. Menuju jalan arteri Ambarawa, lalu ketika sampai persimpangan, belok kiri ke arah Banyubiru.Â
Sepanjang jalan ke arah Desa Brongkol, dimanjakan oleh pemandangan persawahan dengan padi menghijau. Cuaca sedang cerah. Jalanan tak basah, sehingga membuat nyaman perjalanan, juga sehat untuk mata. Awan-awan putih berarak, menghiasi langit yang biru. MasyaAllah.Â
Ketika tadi dari rumah, kedua lelaki teman seperjalanan saya mempersiapkan pancing dan umpannya. Maka bisa ditebak. Bukan durian tujuan utama. Tetapi salah satu dari mereka berjanji, "Nanti kita makan durian, ya." katanya. Baiklah, saya cukup terhibur dangan janjinya tadi. Karena menunggu mereka memancing, pasti akan lama.
Saya hanya membatin, mengapa juga mencari tempat memancing jauh sekali. Tetapi ketika di perjalanan menemukan pemandangan yang aduhai indahnya, maka hati menjadi senang tak jadi manyun. Ternyata tak hanya memancing, tetapi juga mencari suasana baru agar tak bosan. Setelah keseharian menghadapi rutinitas dan monoton.Â
Hanya kadang ingin tahu, seperti apa rasanya memancing. Tentu saja bagi penghobi mancing, ada keasyikan tersendiri dan kepuasan. Apalagi jika mendapatkan banyak ikan yang terkail.Â
Pancing mulai dikeluarkan, mereka bersiap ke arah kolam pancing. Dan saya? Duduk manis di warung milik Bu Pariyah. Selain ada pemancingan, Bu Pariyah juga membuka warung yang menyediakan makanan. Warung kecil dan sederhana.Â
Nah ini. Saya kepo dengan menu utama dari warung Bu Pariyah. Gendar Pecel. Jarang saya menemui menu ini, kecuali di tempat tertentu. Misalnya di pedesaan seperti di sini. Hem. Seperti apa rasanya, ya? Saya melihat warungnya cukup bersih. Maka saya tak ragu untuk memesannya.Â
Beras dicampur bahan pembuat gendar, kemudian dimasak hingga matang. Jangan lupa diaduk-aduk agar tak gosong. Lalu ditumbuk hingga halus, di tempatkan dalam sebuah wadah, dan siap disajikan.Â
Hem, rasa gendar ini enak. Pas, tidak terlalu banyak blengnya. Jadi masih dalam taraf aman untuk disantap. Sayur yang baru matang dan tidak terlalu lama memasaknya, sehingga segar. Kres-kres dari sayur memberi sensasi senang.
Bumbu pecelnya asin manis tapi tak terlalu manis. Ia membuat bumbu pecel racikan sendiri. Hem. Sedap. Khas masakan desa. Meski memasaknya tidak memakai kayu dan memakai kompor gas.
Tak terasa sepiring gendar pecel telah berpindah tempat. Membuat penuh isi perut. Sensasi pedesaan ada di dalamnya, berbeda dengan pecel pada umumnya yang biasa saya temui. Harganya pun murah meriah.
Satu porsi gendar pecel hanya 6.000 rupiah. Gorengan seribu rupiah. Es teh 3.000 rupiah. Lapar hilang dan sensasi rasa baru telah masuk koleksi memori kuliner saya.Â
Saya bertanya kepada salah satu dari mereka, "Dik, kamu sudah dapat ikan berapa?" Ia menjawab, "Sudah dapat tiga, Bun. Ayah dua ekor." Oh, baiklah, saya sedikit lega. Tak ada yang pulang sambil cemberut karena tak mendapatkan ikan.Â
Mereka masih asyik dan saya membiarkannya. Nanti saat mereka sudah merasa puas, pasti akan mengajak pulang. Sayapun menuju warung Bu Pariyah kembali. Duduk dan mengajaknya ngobrol. Dari tadi saya perhatikan ia begitu sibuk melayani pembeli, yang kebanyakan adalah pemancing. Bahkan tetangganya banyak juga yang membeli gorengan.Â
Ia sempat keteteran karena tidak ada yang membantu. Beberapa orang harus kecewa karena gorengan belum matang. Ia bilang, ini hari Minggu, maka ramai pembeli dan pemancing yang berkunjung. Dan biasanya ada anaknya yang membantu. Sedangkan hari itu anaknya ada kepentingan lain sehingga tidak bisa membantu.
Saya melihat ada durian yang tergantung di depan warung. Kata Bu Pariyah, tinggal satu. Saya bertanya, yang itu harganya berapa? 80.000 rupiah. Ini durian enak. Meskipun dalamnya putih, tapi manis sekali. Durian berpindah tangan, akan saya bawa pulang ke rumah.Â
Saatnya pulang. Dan sesuai janjinya, maka kami mampir membeli durian. Padahal tadi saya sudah kepencut durian ketika di warungnya Bu Pariyah. Wah, ia menepati janjinya.Â
Kami berhenti di sebuah kios durian. Saya minta satu dibuka dan makan di tempat. Warnanya putih. Dan wow, manis sekali. Ketika saya bertanya pada penjualnya, ini durian apa?
Ia hanya tersenyum, dan menjawab, "Kalau orang sini lebih mengenal ini adalah durian kangen." Lalu kami ikutan tersenyum. Terserah dirimu deh, bu. Karena saya tidak hapal dengan jenis durian, maka manut saja.Â
Alhamdulillah, pulang ke rumah dengan suasana yang lebih segar. Mengenal kuliner Gendar Pecel dan durian dari Desa Brongkol Jambu Semarang. Dan keesokan harinya, kami bertiga kembali kepada rutinitas seperti semula.Â
Wahyu Sapta.
Semarang, 12 Januari 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H