"Maafkan aku, Andra." ujarnya sendu. Sesendu kekasih yang baru saja kehilangan pasangannya. Amat pedih.
"Sudahlah. Tak apa jika kau tak bisa menemuiku. Bisa mendengar suaramu saja aku sudah bahagia."
***
Karena kian hari, adalah hari yang kian menjadi indah. Tak pernah berkurang sedikitpun cintaku ini padanya.
"Lihat, Mitha. Lukisan ini kuperuntukkanmu. Lambang bahwa betapa cinta ada di hatiku adalah untukmu."
Yakinlah, bahwa goresan yang aku tuangkan dalam kanvas ini, merupakan pemujaanku terhadap Mitha. Gerakan tangan yang tersihir oleh keanggunannya. Cat yang tertuang mencerminkan asli kecantikannya. Mitha yang aku puja tak pernah bisa ku memilikimu, oh. Berlalukah cinta? Berlalukah? Tak sedikitpun. Cintaku tak pernah goyah, walau angin pancaroba berusaha menggesernya.
***
"Andra, kau membuatku tersanjung, sekaligus membawakanku ke dalam dasar jurang kepedihan. Aku cinta, tapi tak bisa memilikimu."
Lalu Mitha tersedu sambil meraung pelan "Mengapa harus begini?"
Dan aku adalah termasuk lelaki yang sabar. Kupeluk erat ia, sambil menghiburnya, "Suatu saat nanti, Mitha. Pasti."
Kupandangi langit membiru. Ada sendu di sana. Sebuah rahasia yang terbawa pada birunya. Menjadikannya sebuah mendung kelabu. Musim baru pancaroba. Terkadang terik menusuk kulit, kemudian tiba-tiba datang hujan berserta gemuruh. Seperti rinduku. Pada keinginan yang nyaris tak pernah putus: memilikimu.