Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saat Akupun Menghilang!

23 September 2018   20:38 Diperbarui: 23 September 2018   20:50 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

Oh My God, mama menyelamatkanku, membangunkan aku dari mimpi buruk tadi. Mimpi buruk ya? Iya, karena di usiaku yang belum genap sweet seventeen, akan menikah, meskipun itu dengan sang Pangeran gagah tampan rupawan. Nggak mau ah, aku kan masih ingin sekolah dan mengejar cita-citaku dulu. Ntar kalau aku punya anak, lalu aku nggak bisa kemana-mana. Ogah ah.

"Mah, dulu mama menikah usia berapa?" tanyaku tiba-tiba.

"Loh, kenapa nanyanya begitu? Tadi malam mimpi apa? Mama menikah usia 25 tahun. Sudah bekerja dan papa usia 27 tahun sudah bekerja pula." jawab mama. Aku tersenyum dan hanya menjawab tidak ada apa-apa. Aku beranjak dari tempat tidur dan segera mandi. Saatnya berangkat sekolah.

***

Saat di sekolah telah ramai. Kelasku di ujung sana. Aku memarkir motorku, ada suara lembut dari arah belakang.

"Dayu..."

"Hah? Kok Dayu?" batinku. Suara itu berasal dari Khafi kakak kelas XII. Tapi dia bersikap cuek dan segera berlalu dari sisiku. Hei, aku Fani bukan Dayu. Oh, jangan-jangan... Khafi itu jelmaan sang Pangeran Gagah Tampan Rupawan. Hiii... buluku begidik.

Aku kan Fani, gadis berusia belum genap sweet seventeen, masih kelas XI, bercita-cita tinggi ingin menjadi dokter, tidak ingin menikah muda sebelum tercapai cita-citaku.

Criiing...! Masih ada satu mantra lagi dari sepuluh mantra yang telah kupakai tadi malam. Aku simpan, untuk sang Pangeranku yang asli, bukan sang Pangeran burung camar seperti tadi malam. Hem, aku tersenyum. Kelasku telah ada di depan mata, aku masuk kelas. Jam pertama mata pelajaran matematika, pelajaran favoritku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun