Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saat Akupun Menghilang!

23 September 2018   20:38 Diperbarui: 23 September 2018   20:50 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

"Daaan... akupun menghilaaang...!"

Criiing..! Uh, eh, oh, kok? Apakah aku sudah menghilang? Loh, kok masih ada sih? Apa mantranya kurang khidmat? Baik, aku baca lagi mantranya.

"Daaan... akupun menghilaaang!"

Criiing...! Nah, kan, aku telah menghilang! Asik, aku tak terlihat oleh siapapun. Jadi, aku bisa berbuat apa saja tanpa bisa terlihat oleh siapapun. Aku berjalan menyelusuri jalan ini.

Criiing...! Aku telah sampai di mini market. E tapi, ah, nggak asyik, membosankan. Bahkan aku tak tertarik apapun untuk memilikinya.

Criiing...! Aku berpindah tempat. Di sebuah restoran mewah! Di sini, tanpa memesanpun, aku bisa menyulap makanan terenak untuk kusantap. Ah, tapi, tak menarik juga. Aku sudah kenyang, aku tadi sempat makan di rumah sebelum ke sini tadi.

Criiing...! Aku telah berada di toko buku, lumayan lah, baca-baca buku sebentar tak apa. Tak membeli juga tak apa. Toh, mereka tak melihatku. Aku hanya ingin membaca, sedikit, kemudian akan berpindah lagi. Cukup. Aku sudah puas membaca.

Criiing...! Eh, tempat apa ini? Aduh, salah kamar. Ih, norak tuh orang, ogah ah.

Criiing...! Uh, salah kamar lagi.

Criiing...! Uh, salah lagi. Ups!

Criiing...! Nah, ini aku suka. Lautan lepas. Aku berada di atas sebuah perahu, dengan sebuah layar berwarna putih. Seekor camar berbulu putih dengan sedikit bulu hitam di salah satu sisi sayapnya, sedang terbang rendah dan menyapaku, "Selamat pagi sang Putri."

Loh, kok dia bisa melihatku? Aku membalasnya dengan senyuman manis, "Selamat pagi camar yang baik. Bagaimana kabarmu?"

Serta merta sang burung camar menjelma menjadi sang Pangeran yang gagah tampan rupawan. Aku memandangnya sambil terhenyak. Sedikit kaget. Terlebih lagi, tatkala tiba-tiba sebuah perahu itu menjadi sebuah kapal besar yang indah bertabur kilau-kilau permata. Inilah yang kuinginkan. Berada di dunia antah berantah. Indah banget, seruku dalam hati.

Aku mulai menyelidik ke segala penjuru kapal besar nan indah bertabur kilau-kilau. Takjub. Bagai di sebuah istana yang megah dengan segala atribut dan assesorisnya, tata interior yang indah, dengan lampu-lampu megah di atas langit-langit kapal.

Banyak orang simpang siur. Setiap mereka berpapasan denganku, mereka menganggukkan kepala dengan sedikit membungkukkan badannya. "Selamat pagi tuan Putri." Begitu kata mereka.

Aku? Tuan Putri? Jadi di sini aku sebagai Tuan Putri? Lalu kutengok ke belakang, beberapa dayang-dayang mengikuti. Mereka semua cantik dengan gaun warna pink berenda. Sedangkan aku, memakai gaun berenda warna putih gading berbahan sifon lembut. Gaunku banyak bertabur permata yang mengkilat hingga menyilaukan mata bagi siapa saja yang memandangnya. Aku, sang Putri, tercantik diantara yang cantik. Tapi, ada sesuatu yang lupa. Kemana sang Pangeran? Aku mencari sang Pangeranku.

"Pangeranku mana, Sonia?" tanyaku pada salah satu dayangku. Entah kenapa, tiba-tiba aku tahu nama dayangku yang paling imut itu. Aku suka padanya, wajahnya lembut bermata sayu biru.

"Sang Putri, Pangeran ada di ruang sebelah sana. Sepertinya sedang ada meeting dengan sang Raja."

"Kok kamu tahu? Apakah Pangeran bilang padamu?"

"Loh, bukankah tadi sang Pangeran bilang pada Tuan Putri? Sudah lupa?"

"O, iya, aku lupa. Lalu aku sekarang harus apa? Apa kita buat permainan baru?"

"Aduh, Tuan Putri nggak boleh capek, itu pesan sang Pangeran. Tuan Putri harus nurut."

"Aku? Baik, aku nurut. Tapi, aku bingung, kita bikin acara apa? Aku mulai boring nih."

"Aduh, Tuan Putri, baiklah, kita bermain petak umpet sebentar saja, ya? Aku yang jadi penjaganya, Dija, Ratih, Fe, Inggrid, Samuel, Frits, Tuan Putri sembunyi."

"Satu... dua... tiga... sudah belum?"

Lalu sunyi, semua bersembunyi, kecuali Sonia yang menjadi penjaga. Saat asyik bermain petak umpet, bosan menyergapku. Nah, kok bosan. Aku tetap ingin bertemu sang Pangeranku.

"Sonia, sudah ya, aku bosen. Kita jalan-jalan saja yuk."

"Baik Tuan Putri."

Aku dan ke tujuh dayangku berjalan menyelusuri lorong-lorong kapal besar yang indah dan megah. Tiba-tiba langkahku terhenti.

"Pssst... dengar Sonia, sepertinya ada suara sang Pangeran dari kejauhan. Apakah ia akan menuju kemari?"

"Entahlah Tuan Putri, sebaiknya kita sembunyi di balik ruangan itu. Ayo, kita sembunyi."

"Baik, kita sembunyi."

Terdengar dari luar ruangan tempatku bersembunyi suara sang Pangeran sedang berbincang dengan seseorang. Mungkin dengan sang Raja.

"Ayah, aku ingin segera menikah dengan Tuan Putri Dayu. Apakah ayah mengijinkannya?" Lamat-lamat suara itu semakin jelas terdengar di telingaku.

Jadi, namaku Tuan Putri Dayu? Hem.

"Ayah mengijinkan. Kita akan membuat pesta yang sangat meriah di atas kapal ini. Semua akan kita kumpulkan dan kita berpesta. Sang Ratu, mama kamu, pasti juga setuju. Bukankah sang Ratu sangat menyenangi sebuah pesta?"

Aku yang berada di balik ruangan mendengar berita itu, merasa senang dengan hati yang berdegup. Akan ada pesta pernikahan antara aku dan sang Pangeran. Dan itu di gelar dengan mewah. Wah, aku belum bisa membayangkannya. Pasti sangat meriah.

"Baiklah ayah, segera aku kumpulkan pegawai istana kapal dan mengadakan meeting segera, untuk membahas pesta besok."

Ha! Apa? Besok? Aku terkaget! Besok? Cepat sekali? Yah. Nggak mau ah, aku belum siap, bahkan aku belum pernah berbincang lama dengan sang Pangeran. Hanya tadi, ketika aku baru sampai di tempat ini dan dia mengucapkan selamat pagi.

Kuberanikan diri, aku keluar ruangan persembunyian untuk menemui sang Pangeran. Sang Pangeran kaget, memandangi sambil terbengong.

"Loh, kok dinda Dayu di sini?" Aku yang dipanggil dinda Dayu oleh sang Pangeran, tersipu malu. Sungguh, sapaan itu, membuat pipiku memerah.

Raja dan dayang-dayang segera menyingkir. Mereka tahu diri, memberi waktu dan ruang padaku dan sang Pangeran untuk berbincang.

"Kanda, tadi aku mendengar pembicaraan Kanda dengan ayahanda. Aku rasa terlalu cepat bila pesta itu diadakan besok pagi. Aku belum siap Kanda."

Sang Pangeran nampak serius mendengarkan bicaraku. Lalu iapun menjawab dengan serius pula.

"Dinda Dayu, aku ingin cepat mempersunting dirimu. Aku tak mau kehilanganmu. Tapi, baiklah, bagaimana kalau dua hari lagi?"

"Nggak mau."

"Tiga hari lagi?"

"Nggak mau."

"Satu minggu lagi?"

"Ih, nggak mau."

"Hem, bagaimana kalau dua minggu lagi. Itu sudah terlalu lama bagiku."

"Nggak mau!"

"Aduh dinda Dayu, lalu kapan?"

"Aku mau satu tahun lagi."

"Apa? Kelamaan dong dinda."

"Kanda, aku nggak mau, setelah kita menikah, lalu punya anak. Aku nggak bisa bermain lagi sama dayang-dayangku." ujarku sambil cemberut.

Sang Pangeran tertawa lepas.

"Dinda, kalau itu kan bisa di atur. Baiklah, deal ya, kita menikah besok pagi. Tidak bisa ditawar." kata sang Pangeran tegas.

Aku tak bisa membantah dan hanya mengiyakan. Duh, kenapa mulutku jadi ngilu begini ya. Terasa terkunci. Satu hari lagi aku akan menikah dengan sang Pangeran, tentunya dengan pesta yang sangat meriah. Kenapa aku jadi sedih? Bukankah tadi aku menginginkannya?

***

Waktu yang ditentukan tiba. Aku berada di ruang rias keputren, baru saja di rias oleh juru rias terbaik istana kapal besar nan indah bertabur kilau-kilau. Sapuan kuas bedaknya, blush on, mascara, membuatku cantik. Terasa beda, lalu wajahku berubah cantik, saat aku bercermin di kaca. Aku memuji diri sendiri tak habis-habis. Seperti Putri Snow White.

Aku masih saja gelisah, aku masih terkaget dengan keputusan harus menikah dengan sang Pangeran sebentar lagi. Tak ada waktu untuk mengelak. Bahkan dayang-dayangku tak bisa membantu banyak saat aku mengatakan pada mereka untuk melarikan diri saja. Mereka hanya tertunduk dan menggelengkan kepala tanda tak sanggup.

Baiklah, berarti aku harus bertindak sendiri. Melarikan diri. Ya, aku ingin melarikan diri. Tapi bagaimana caranya? Aku berpikir keras.

Saat semua lengah, aku berhasil melarikan diri. Aku berlari, berlari dan berlari. Terengah-engah aku semakin mempercepat langkah agar tak terkejar oleh mereka. Lorong-lorong kapal besar yang indah bertabur kilau-kilau semakin panjang. Aku kecapekan. Aku mulai berkeringat dingin dan hampir putus asa.

***

"Faniii... bangun, sudah siang. Kenapa kamu berkeringat? Seperti ada yang mengejar. Ayo, bangun nak. Sebentar lagi masuk sekolah."

Oh My God, mama menyelamatkanku, membangunkan aku dari mimpi buruk tadi. Mimpi buruk ya? Iya, karena di usiaku yang belum genap sweet seventeen, akan menikah, meskipun itu dengan sang Pangeran gagah tampan rupawan. Nggak mau ah, aku kan masih ingin sekolah dan mengejar cita-citaku dulu. Ntar kalau aku punya anak, lalu aku nggak bisa kemana-mana. Ogah ah.

"Mah, dulu mama menikah usia berapa?" tanyaku tiba-tiba.

"Loh, kenapa nanyanya begitu? Tadi malam mimpi apa? Mama menikah usia 25 tahun. Sudah bekerja dan papa usia 27 tahun sudah bekerja pula." jawab mama. Aku tersenyum dan hanya menjawab tidak ada apa-apa. Aku beranjak dari tempat tidur dan segera mandi. Saatnya berangkat sekolah.

***

Saat di sekolah telah ramai. Kelasku di ujung sana. Aku memarkir motorku, ada suara lembut dari arah belakang.

"Dayu..."

"Hah? Kok Dayu?" batinku. Suara itu berasal dari Khafi kakak kelas XII. Tapi dia bersikap cuek dan segera berlalu dari sisiku. Hei, aku Fani bukan Dayu. Oh, jangan-jangan... Khafi itu jelmaan sang Pangeran Gagah Tampan Rupawan. Hiii... buluku begidik.

Aku kan Fani, gadis berusia belum genap sweet seventeen, masih kelas XI, bercita-cita tinggi ingin menjadi dokter, tidak ingin menikah muda sebelum tercapai cita-citaku.

Criiing...! Masih ada satu mantra lagi dari sepuluh mantra yang telah kupakai tadi malam. Aku simpan, untuk sang Pangeranku yang asli, bukan sang Pangeran burung camar seperti tadi malam. Hem, aku tersenyum. Kelasku telah ada di depan mata, aku masuk kelas. Jam pertama mata pelajaran matematika, pelajaran favoritku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun