Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Artikel Utama

Cerpen | Denada

30 Mei 2018   11:04 Diperbarui: 30 Mei 2018   16:39 2498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah desa di pinggiran kota. Harus melalui hutan dan persawahan agar bisa sampai ke lokasi. Cukup jauh, kira-kira lima kilometer dari jalan utama. Memang berkelok-kelok dan sempit, tapi pemandangan yang terlewati indah, hutan jati dan hijau sawah membentang.

Kemudian melewati pinggiran hutan, pohon berjajar tumbuh miring mengikuti arah angin. Pohon di sini dulu banyak, dan sekarang mulai berkurang. Padahal pohon itulah yang membuat udara segar dan bersih.

Diantara sela-sela hutan, ada jalan masuk ke dalam. Terbuat dari aspal dengan mutu di bawah standar, tapi lumayan untuk perjalanan menuju desa. Meski harus hati-hati karena banyak berlubang.

Ketika sampai ujung desa, sebuah rumah sederhana berdiri. Rumah itu tepat berbatasan dengan persawahan. Ketika jalan diteruskan akan menuju desa lain. Dari tampak depan, rumah tersebut bersih, rapi dan indah. Tanaman teh berfungsi sebagai pagar hidup. Tertata, terpotong rapi, dan subur. Pertanda bahwa pemilik rumah menyukai tanaman, yang terawat dengan baik. Meski sederhana dan halamannya yang tak luas, rumah terlihat asri.

Pada bagian dalam rumah, terdapat ruangan yang cukup lapang, berisi meja-meja pendek dan tergelar karpet tipis untuk duduk lesehan. Bila sore hari, ruangan ini akan ramai oleh anak-anak yang berkumpul untuk belajar mengaji.

Seorang gadis berhijab, akan mengajari mereka mengaji, dengan sabar dan tulus ikhlas. Pakaian muslim yang dikenakan memberi kesan anggun wajahnya. Sepotong jilbab sederhana, menambah teduh dan ramah wajahnya. Anak-anak biasa memanggil dengan Kak Dena. Mereka selalu riang saat belajar mengaji, karena guru mereka, sabar dan tak pernah marah.

***

Pagi itu, matahari baru saja menampakkan dirinya ketika Denada menyapu halaman yang tak begitu luas. Ia juga membersihkan beberapa tanaman yang telah mengering, sehingga tanaman akan menjadi hijau kembali. Membetulkan letak pot agar berjajar lurus. Ia jalani dengan setulus hati, dengan tanpa beban.

Di depan rumah, ada pohon besar, rindang membuat adem halaman rumah. Dari bawah pohon, ia biasa memandang hamparan sawah luas membentang setelah selesai menyapu. Tampak beberapa petani sedang di sawah. Kebanyakan petani di sekitar desa ini menanam padi. Sebagian besar padi-padi itu masih hijau, sebagian kecil lainnya sudah menguning. Dan sebagian lagi nampak bekas padi dipanen.

Bila pagi seperti ini, angin bertiup sepoi lembut, terkadang agak keras, hingga dinginnya menusuk tulang. Dena selalu menghirup udara dengan rakus. Kapan lagi ia bisa merasakan sejuknya pagi. Mumpung.

"Dena, jangan terlalu rajin, nak. Nanti kamu kelelahan." kata bu Astrid dari dalam rumah.

"Nggak papa, bu. Biasa saja. Dena senang kok."

Bukan apa-apa, Denada bukan anaknya sendiri. Kalau ia sakit bagaimana? Sudah dua minggu terakhir Dena menginap di rumahnya. Bu Astrid tidak keberatan. Tetapi kalau orang tuanya mencari?

Denada beberapa bulan lalu, pernah KKN di sini dan tinggal bersama lima temannya. Ketika KKN telah berakhir, entah mengapa ia kembali lagi ke sini. Saat ditanya, ia mengatakan ingin mencari ketenangan. Bu Astrid senang. Apalagi saat Denada meminta izin untuk memberi pelajaran iqra untuk anak-anak di sini. Jelas ia tak akan keberatan.

Yang dicari Denada adalah ketenangan. Hal inilah yang tak ia dapatkan saat berada di rumahnya sendiri. Orang tuanya terlalu sibuk. Memang saat meninggalkan rumah, berpamitan. Ia tak mau dicap sebagai anak durhaka. Ia hanya mengatakan tidak usah dicari. Karena ia akan baik-baik saja, karena berada di tempat bu Astrid. Beberapa kali mamanya meminta agar Denada pulang. Tapi dirinya belum siap. Ia masih menata hati.

Lamunannya terhenti. Bu Astrid mengajaknya sarapan.

***

"Permisiiii..."

"Iya sebentar."

Ada tamu. Siapa pagi-pagi begini datang. Tetapi suaranya seperti kenal. Batin Denada. Ia merapikan hijabnya, ketika hendak keluar dari kamar menuju ruang tamu.

"Mas Pring?" serunya kaget.

"Syukurlah. Akhirnya aku bisa ketemu kamu Na. Sudah kuduga, kamu pasti bersembunyi di sini. Mama nggak bilang jika kamu di sini. Cuma bilang, kamu baru nggak mau diganggu. Hei, sejak kapan kamu pakai hijab?"

Denada tersipu. Ia memakai hijab ketika tinggal di sini, dua minggu lalu. Hatinya yang menggerakkan agar ia memakai hijab. Beruntung saat kecil ia diajarkan mengaji iqra, dengan memanggil guru di rumah. Sehingga ia bisa mengajari anak-anak iqra. Sejak menjadi guru iqra, ia memutuskan memakai hijab.

"Mas Pring kapan pulang? Bukankah masih di Pekanbaru?"

"Ditanya ganti nanya. Gimana sih? Pantas saja kalau kutelepon tak pernah nyambung."

"Iya mas, di sini susah sinyal. "

"Harusnya kamu cerita padaku."

Denada meminta maaf pada Pring. Setahun sudah ia menjalani ta'aruf dengannya. Ia merasa bersalah. Tetapi Pring mau mengerti alasan Denada mengapa ia memilih tinggal di sini.

"Eh, ada tamu. Mas Pring ya? Ibu ingat. Dulu pernah nengok nak Dena waktu KKN. Gimana kabarnya?" sapa bu Astrid dari kamarnya. Di rumah ini memang hanya ada Bu Astrid dan Denada.

"Alhamdulillah baik bu Astrid. Gimana, ibu sehat selalu kan?"

Perbincangan semakin asik antara Bu Astrid, Pring dan Denada. Hingga saatnya Pring harus pamit.

"Aku pulang dulu Dena. Besok aku harus kembali ke Pekanbaru. Baik-baik di sini. Kalau bisa, pulanglah. Mamamu menunggu. Kangen padamu. Luluhkanlah hatimu. Aku yakin, kamu lembut." Denada hanya mengangguk.

***

Entah apa. Ada sebuah kekuatan yang menggerakkan Denada untuk segera pulang. Harus, kata hatinya. Denada tidak tahu memulainya dari mana. Ia sudah terlanjur jatuh hati pada tempat ini. Di sini ia menemukan kedamaian. Kelembutan dan perhatian bu Astrid membuatnya tenang. Tetapi kekuatan batinnya yang menyuruh pulang lebih kuat.

"Pulanglah. Mamamu menunggu." terngiang kembali kata-kata Pring. "Aku yakin, kamu lembut." kata itu berulang-ulang menggema di kepalanya. Ya. Ia memang harus pulang.

Setelah meminta maaf pada bu Astrid karena selama ini telah menganggu, ia berpamitan. Bu Astrid dengan hati berat melepas kepergian Denada. Sebenarnya ia senang ada Denada. Tetapi, ia tak bisa menolak dan harus menerima kenyataan bahwa suatu saat Denada pasti akan pergi.

"Dena akan sering kemari, ibu. Jangan khawatir. Ibu sudah kuanggap ibu sendiri. Maafkan Dena, jika banyak salah."

Mereka berpelukan erat.

***

Azan isyak baru saja berkumandang, ketika Denada sampai rumah. Suasana sepi seperti biasanya. Tetapi mobil papanya ada. Juga mamanya. Tumben mereka sudah ada di rumah? Biasanya hingga larut malam mereka baru tiba di rumah.

Dulu, rumah ini sepi. Karena Denada anak tunggal. Memang secara materi ia berlimpah. Segala yang ia mau selalu ada. Tetapi ia hanya tinggal dengan Mbok Sur. Pengasuhnya dari kecil hingga sekarang. Bahkan pernah ia merasa, bahwa ia adalah anaknya Mbok Sur.

Tak pernah ada sentuhan ibadah. Kecuali ketika guru ngajinya datang mengajarinya iqra dan salat.

Mama papanya benar-benar orang yang sibuk.

Denada masuk rumah. Tidak ada sahutan saat ia mengucapkan salam. Saat ditengoknya kamar orang tuanya. Ia terkejut. Hei, benarkah apa yang ia lihat? Denada mengucak-ngucak kedua matanya beberapa kali. Mungkin ia sedang bermimpi.

Kedua orang tuanya sedang bersiap mendirikan salat berjamaah.

Segera saja ia mengambil air wudlu dan bergabung menjadi makmum papanya.

"Subhanallah. Nikmat Tuhan mana yang hendak kau dustakan?" seru Denada dalam hati.

Selesai salat, ia memeluk erat kedua orang tuanya memohon ampun atas kesalahan selama ini.

Tak terasa, bulir air mata menetes deras.

"Kau permata hati kami, nak. Maafkan kami berdua." kata papa Denada.

***

Semarang, 30 Mei 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun