Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terduga Pelakor

24 Februari 2018   18:48 Diperbarui: 24 Februari 2018   20:47 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rani istrinya memang tipe orang yang tak suka bergosip. Jika ia penasaran akan sesuatu yang berkaitan dengan situasi di komplek rumahnya, maka ia akan menanyakan langsung pada sumber berita. Dan, benar saja. Biasanya antara gossip dengan berita asli akan ada sedikit melenceng. Meski tidak terlalu beda jauh. Seperti saat ia berbincang-bincang dengan Jena.

***

Suasana semakin panas. Saat bu Dodi menyebut bahwa Jena adalah terduga pelakor. Alasannya karena ia tampak hidup sendirian dengan dua anaknya tanpa kehadiran sosok suami. Suaminya memang jarang sekali kelihatan. Meski ia mengatakan bahwa suaminya bertugas ke luar kota dan jarang pulang. "Mungkin saja ia istri simpanan. Atau ia adalah perebut lelaki orang alias pelakor!" kata bu Dodi. Wah, bu Dodi kekinian. Mengerti istilah pelakor yang baru tren.

Runyam. Padahal Jena sudah menjelaskan bahwa suaminya memang jarang pulang ke rumah, karena memang bekerja di luar kota. Saat pulang ke rumah, hari sudah malam saat komplek telah sepi. Dan memang jarang keluar rumah dengan alasan capek. Kemudian berangkat lagi ke tempat kerja saat pagi hari. Saat penghuni komplek masih terlelap.

***

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Jena tetangga cantik semakin intensif mendekati para tetangga. Tidak hanya mengobrol dengan para ibu, tetapi juga dengan para suami. Ada yang menatap sinis, ada pula yang bersimpati. Beragam. Namanya juga beda orang, beda kepala.

Tetapi Jena tak patah arang. Bahkan ia semakin ramah kepada tetangga sekitar, baik yang dekat rumah maupun yang agak jauh. Hal yang dulu tak pernah ia lakukan. Karena dulu ia lebih suka di dalam rumah dan jarang keluar hanya untuk sekedar bersosialisasi.

Beberapa ibu semakin meradang, karena takut akan kecantikan Jena. Cemburu pada kecantikan dan kecerdasannya.

***

Di musim politik. Beberapa baliho terpampang di sudut jalan besar. Wajah para politikus yag ingin mencalonkan diri menjadi wakil rakyat tampak tersenyum. Wajah mereka putih bersih. Padahal mungkin aslinya tak seputih dan cerah seperti di baliho. Senyuman manis dan menjanjikan sesuatu. Pastinya janji tentang kesejahteraan rakyat dan negeri ini.

"Yah, ada wajah bu Jena,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun