Kasak-kusuk berlanjut. Berita masih sama di area kompleks ini. Issue yang masih sama. Dari hari ke hari, berita panas ini belum mereda. Rumah nomer sepuluh masih menjadi trending topic. Bahkan pada saat jam belanja pagi hari, pukul enam, yang artinya shopping time di abang sayur yang lewat.
Trending topicmenjadi menu utama. Ibu-ibu hanya berkata lirih, saat pemeran utama trending topic ikut dalam shopping time di lingkungan komplek. Tapi begitu ia pergi dan masuk rumah. Sontak ramai. Aroma gosip merebak.
"Coba bu Rani pikir, deh. Masak kemarin ia datang ke rumah saya, cuma mau minta daun salam buat masak sayur. Basa-basi pula pada suami saya yang saat itu mau berangkat kerja. Padahal sebelumnya enggak pernah. Boro-boro main atau berkunjung. Ia aja nggak pernah keluar rumah. Nah, ini... Memang sih, ada saya juga disana, jadi ngobrolnya bertiga." kata bu Dodi sedikit emosi, meski kentara banget ia menahan emosinya.
Rani hanya tersenyum. Ya, ya. Ia mengerti jika bu Dodi yang sudah bertahun-tahun menjadi tetangganya dan sudah seperti saudara itu meradang. Penghuni nomer sepuluh yang ia juluki tetangga cantik itu memang cantik. Tetangga yang baru menghuni di komplek belum ada satu tahun, berkulit putih bersih. Glowing dan terlihat cerdas. Supel. Dan yang pasti, pandai menyetir mobil sendiri. Tidak seperti dirinya yang tidak pandai menyetir. Padahal suaminya pernah berkata bahwa, kenapa ya wanita terlihat cantik saat ia bisa menyetir mobil? Tentu saja ia cemberut. Meski ia tahu, bahwa suaminya hanya bercanda dan tidak serius.
***
"Yah, Tetangga Cantik keluar tuh. Ia menuju ke rumah kita. Mau apa dia?" kata Rani pada suaminya setengah berbisik. Pagi itu ia dan suaminya masih di teras depan menikmati secangkir teh hangat dan kue brownies oleh-oleh dari kerabatnya kemarin. Tetangga Cantik datang berkunjung.
"Selamat pagi bu Rani. Pak Miko. Maaf mengganggu," katanya sopan.
"Oh, bu Jena. Iya nggak papa. Ada yang bisa kubantu, bu?"
"Bu Rani punya daun jeruk? Tadi nyari di abang sayur habis. Mau masak opor, eh, daun jeruknya habis."
"Oh, ada. Saya punya pohonnya di pot. Ambil aja, bu."
Lalu perbincangan berlanjut. Miko hanya menjadi pendengar dari obrolan dua perempuan yang ada di depannya. Rani istrinya dan Jena. Lalu tanpa sengaja ia membanding-bandingkan keduanya. Hasilnya? Ia simpan sendiri dalam hati sambil tersenyum.