Kasak-kusuk merebak di kompleks ini. Aroma issue panas terasa kian menyengat. Beberapa ibu penghuni komplek bersikap waspada. Tampaknya ada sesuatu yang ditakutkan. Terjadi mosi tidak percaya dan awan cemburu saat suami mereka mulai rajin untuk keluar rumah menuju halaman depan. Sekedar mencuci mobil atau membersihkan tanaman yang ada di depan berem rumah masing-masing. Padahal para suami biasanya mencucikan mobilnya di carwash. Mana mereka juga jarang peduli pada tanaman. Biasanya asisten yang menyiram.
Termasuk Miko, suami Rani. Semakin rajin sekedar mengelap mobil tua kesayangannya. Sambil bernyanyi kecil, mengelap mobil dan matanya tak lepas melirik ke sebuah rumah yang hanya berjarak beberapa meter. Rani tentu saja meradang. Kepo, apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya.
"Aduh, ayah mendadak rajin. Mobilnya masih bersih loh, yah. Kok masih aja dilap." kata Rani dengan nada tinggi.
"Bun, kan ayah mau meeting dengan klien. Masak mobilnya kotor." balas Miko.
"Kok matanya melirik terus ke rumah depan?"kata Rani dengan nada semakin tinggi.
Miko tergelak. Ya, ya. Akhir-akhir ini ia mengakui bahwa ada rasa penasaran pada penghuni depan rumah.
"Bunda cemburu, ya?"
"Enggak, siapa bilang cemburu?" jawab Rani sambil cemberut.
"Nah itu, marah-marah."
"Aku nggak cemburu!" Lalu Rani berlalu dari suaminya dan masuk rumah. Miko hanya tersenyum senang. Itu artinya Rani sayang padanya tanpa harus berkata sayang. Ia hapal betul sifat Rani. Sebentar lagi juga baik kembali padanya. Ia tak pernah marah lebih dari satu jam.
***
Kasak-kusuk berlanjut. Berita masih sama di area kompleks ini. Issue yang masih sama. Dari hari ke hari, berita panas ini belum mereda. Rumah nomer sepuluh masih menjadi trending topic. Bahkan pada saat jam belanja pagi hari, pukul enam, yang artinya shopping time di abang sayur yang lewat.
Trending topicmenjadi menu utama. Ibu-ibu hanya berkata lirih, saat pemeran utama trending topic ikut dalam shopping time di lingkungan komplek. Tapi begitu ia pergi dan masuk rumah. Sontak ramai. Aroma gosip merebak.
"Coba bu Rani pikir, deh. Masak kemarin ia datang ke rumah saya, cuma mau minta daun salam buat masak sayur. Basa-basi pula pada suami saya yang saat itu mau berangkat kerja. Padahal sebelumnya enggak pernah. Boro-boro main atau berkunjung. Ia aja nggak pernah keluar rumah. Nah, ini... Memang sih, ada saya juga disana, jadi ngobrolnya bertiga." kata bu Dodi sedikit emosi, meski kentara banget ia menahan emosinya.
Rani hanya tersenyum. Ya, ya. Ia mengerti jika bu Dodi yang sudah bertahun-tahun menjadi tetangganya dan sudah seperti saudara itu meradang. Penghuni nomer sepuluh yang ia juluki tetangga cantik itu memang cantik. Tetangga yang baru menghuni di komplek belum ada satu tahun, berkulit putih bersih. Glowing dan terlihat cerdas. Supel. Dan yang pasti, pandai menyetir mobil sendiri. Tidak seperti dirinya yang tidak pandai menyetir. Padahal suaminya pernah berkata bahwa, kenapa ya wanita terlihat cantik saat ia bisa menyetir mobil? Tentu saja ia cemberut. Meski ia tahu, bahwa suaminya hanya bercanda dan tidak serius.
***
"Yah, Tetangga Cantik keluar tuh. Ia menuju ke rumah kita. Mau apa dia?" kata Rani pada suaminya setengah berbisik. Pagi itu ia dan suaminya masih di teras depan menikmati secangkir teh hangat dan kue brownies oleh-oleh dari kerabatnya kemarin. Tetangga Cantik datang berkunjung.
"Selamat pagi bu Rani. Pak Miko. Maaf mengganggu," katanya sopan.
"Oh, bu Jena. Iya nggak papa. Ada yang bisa kubantu, bu?"
"Bu Rani punya daun jeruk? Tadi nyari di abang sayur habis. Mau masak opor, eh, daun jeruknya habis."
"Oh, ada. Saya punya pohonnya di pot. Ambil aja, bu."
Lalu perbincangan berlanjut. Miko hanya menjadi pendengar dari obrolan dua perempuan yang ada di depannya. Rani istrinya dan Jena. Lalu tanpa sengaja ia membanding-bandingkan keduanya. Hasilnya? Ia simpan sendiri dalam hati sambil tersenyum.
Rani istrinya memang tipe orang yang tak suka bergosip. Jika ia penasaran akan sesuatu yang berkaitan dengan situasi di komplek rumahnya, maka ia akan menanyakan langsung pada sumber berita. Dan, benar saja. Biasanya antara gossip dengan berita asli akan ada sedikit melenceng. Meski tidak terlalu beda jauh. Seperti saat ia berbincang-bincang dengan Jena.
***
Suasana semakin panas. Saat bu Dodi menyebut bahwa Jena adalah terduga pelakor. Alasannya karena ia tampak hidup sendirian dengan dua anaknya tanpa kehadiran sosok suami. Suaminya memang jarang sekali kelihatan. Meski ia mengatakan bahwa suaminya bertugas ke luar kota dan jarang pulang. "Mungkin saja ia istri simpanan. Atau ia adalah perebut lelaki orang alias pelakor!" kata bu Dodi. Wah, bu Dodi kekinian. Mengerti istilah pelakor yang baru tren.
Runyam. Padahal Jena sudah menjelaskan bahwa suaminya memang jarang pulang ke rumah, karena memang bekerja di luar kota. Saat pulang ke rumah, hari sudah malam saat komplek telah sepi. Dan memang jarang keluar rumah dengan alasan capek. Kemudian berangkat lagi ke tempat kerja saat pagi hari. Saat penghuni komplek masih terlelap.
***
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Jena tetangga cantik semakin intensif mendekati para tetangga. Tidak hanya mengobrol dengan para ibu, tetapi juga dengan para suami. Ada yang menatap sinis, ada pula yang bersimpati. Beragam. Namanya juga beda orang, beda kepala.
Tetapi Jena tak patah arang. Bahkan ia semakin ramah kepada tetangga sekitar, baik yang dekat rumah maupun yang agak jauh. Hal yang dulu tak pernah ia lakukan. Karena dulu ia lebih suka di dalam rumah dan jarang keluar hanya untuk sekedar bersosialisasi.
Beberapa ibu semakin meradang, karena takut akan kecantikan Jena. Cemburu pada kecantikan dan kecerdasannya.
***
Di musim politik. Beberapa baliho terpampang di sudut jalan besar. Wajah para politikus yag ingin mencalonkan diri menjadi wakil rakyat tampak tersenyum. Wajah mereka putih bersih. Padahal mungkin aslinya tak seputih dan cerah seperti di baliho. Senyuman manis dan menjanjikan sesuatu. Pastinya janji tentang kesejahteraan rakyat dan negeri ini.
"Yah, ada wajah bu Jena,"
"Mana?"
"Cieeee... ayah semangat banget kalau bunda nyebut nama bu Jena,"
"Bunda cemburu, ya?"
"Enggak!"
"Iya. Cemburu, ah."
"Memang ayah mau memilih dia? Kalau bunda sih pikir-pikir dulu. Dia baik kalau ada maunya sih."
"Kalau ayah pilih dia, bun."
"Alasannya?"
"Karena dia cantik,"
Rani cemberut dan Miko tergelak hebat. Ia senang saat Rani bermuka cemberut. Tampak cantik. Ya, ya. Meski kecantikannya berbeda dengan Jena. Tetapi kecantikan Rani lebih alami. Dan tentu saja hal itulah yang membuat dirinya selalu mencintai Rani.
Akhirnya trending topic tentang terduga pelakor di komplek mulai mereda. Hal ini terjadi sejak ada baliho besar terpampang wajah Jena.
Semarang, 24 Februari 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI