Bintang di langit. Aku menatap bintang di langit. Berkerlip, bertabur bagai permata. Ada satu bintang yang lebih terang cemerlang. Aku menunjuknya, dan mengklaim bahwa bintang yang paling cemerlang itu kamu. Sedangkan aku, adalah pengagum rahasiamu.
Wajahmu tak tersentuh tanganku, meski kubalikkan indahnya matahari pagi, kamu tetap hanya sebentuk siluet hitam membelakangi sinar putih, semua tampak kabut tak jelas, aku diam-diam menjadi pengagummu, paling setia, di urutan nomer satu, meski tak pernah bisa menyentuhmu.
Entah kenapa, setiap berbincang denganmu, aku akan merasa melayang bagai tak menapak tanah. Aku selalu merasa tersanjung usai berbincang denganmu. Padahal kau hanya mengatakan, "Hai,"
Atau pernah juga menyapaku, "Kamu pemilik rumah nomer 7, kan?"
Itu saja.
Aku ini seorang gadis, dengan ekor kuda dan berkacamata tebal. Aku tahu, tak banyak makhluk adam yang akan melirikku. Mereka akan melewatiku begitu saja saat melintas di depanku. Aku sudah biasa, dan tak mempermasalahkan itu.
Lalu...
Kita pun bersahabat, saat betapa seringnya kita bertemu di depan rumah, pada jam yang sama. Kau hendak berangkat ke tempat dirimu bekerja. Sedang aku ke kampus. Hanya satu detik berpandangan mata, satu menit berikutnya senyuman manis. Kemudian aku dan kau masing-masing berangkat ke arah yang berlawanan.
Bersahabat menjadi sayang?
Aku sebenarnya hanya ingin berteman, tapi kau tak membawanya. Kau hanya membawa cinta. Aku tak memiliki pilihan. Sedangkan kau dan aku begitu dekatnya, tanpa sekat, tanpa waktu. Akhirnya aku telah masuk dalam lingkaran cintamu yang kau bawa. Aku bersandar disana dan aku merasa  nyaman. Apakah ini suatu kesalahan, saat kaupun merasa nyaman.
***
Aku memejamkan mata menikmati semilirnya angin sepoi di beranda rumah. Pagi yang cerah saat liburan. Ada perasaan senang menggelegak dalam diriku yang tak tertahankan, bagai aliran sungai, deras dan menghentak-hentak. Entah apa namanya.
Tiba-tiba datang dirimu. Membawa sebatang coklat dan kau ulurkan kepadaku. Aku menerimanya dengan senang hati dan mengucap terimakasih.
"Boleh aku duduk di sisimu?"
"Mengapa tidak? Boleh saja,"
"Aku ingin menanyakan sesuatu,"
"Apa?"
"Kau serius tentang cinta?"
"Aku tidak tahu,"
"Kok tidak tahu?"
"Memang tidak tahu. Ada apa, sih?"
Ada jeda waktu. Dalam diam. Hening. Kau terpekur seperti mencari-cari topik bicara yang pas. Aku juga diam, tetapi tersenyum dalam hati. Aku selalu menyukai galaumu. Kau selalu menghadapi sesuatu dengan serius. Bahkan saat bercandapun terasa serius. Mana ada bercanda tapi serius, kan? Tapi ada. Dan itu kamu.
***
"Hei, hatimu tertinggal di sini. Kemarin kau lupa membawanya kembali,"
"Tak apa, sengaja kutinggal, untukmu!"
"Lalu, bagaimana ini? Aku menjadi bingung,"
"Tak sukakah kau, jika hatiku menemani hatimu?"
"Oh, aku akan senang sekali, begitukah denganmu?"
"Tentu saja,"
"Baiklah, akan aku simpan hatimu, untukku."
Hatiku tertinggal di hatimu. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya. Hampa. Sepi. Tidak karuan. Juga sedikit was-was. Aku mengkhawatirkan hatiku yang tertinggal, akankah ia baik-baik saja. Sedangkan tempat di hatiku kini, sekarang bermukim hatimu. Apakah kau juga berperasaan sama? Mengkhawatirkan hatimu yang bermukim dihatiku?
Separuh hati kita telah tertukar!
***
Semarang, 28 Nopember 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H