Bila ini yang dinamakan cinta, maka aku pikir cinta itu semacam zat adiktif yang memiliki banyak cara untuk terus mengikatku agar terus mencandunya.
Aku memanggilmu Matahari. Cinta menemukan aku dan kamu dengan cara aneh dan dalam waktu yang tak beraturan. Bahkan tanpa bisa mengelaknya, cinta itu datang tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Begitu mengikat hingga aku tak mampu membendung, bahkan sekarang seperti mencandunya. Ada rasa yang mendesak, agar aku bisa berbincang denganmu. Atau saat menemuimu, sama dengan hal yang membahagiakan.
Kamu hadir begitu saja dalam hidupku. Sering bertemu di lift yang sama, saat menuju ruang kantor, meski kantormu terpaut satu lantai lebih atas. Dengan segala keceriaan, gelak tawa dan berbagai cerita lucu. Meluncur, mengalir hingga memenuhi segala sudut ruang hatiku. Senyummu menawan.
Hingga kita dekat bagai sahabat yang saling menceritakan berbagai peristiwa yang barusan kita alami. Apa saja tentangmu begitu mengagumkan. Kamu begitu indah dimataku. Kamu begitu pintar. Caramu berbicara, seperti sosok cendekia. Apakah kamu untukku?
Aku memahami apa yang kamu alami, begitu juga sebaliknya, kamu juga memahami apa yang aku alami. Meluncurlah pesan-pesan yang tiap hari datang.
"Kamu sudah makan? Hati-hati, jangan telat makan." Atau...
"Kalau sudah mengantuk, istirahat dulu, jangan dipaksa, tidurlah barang lima menit. Nanti sakit loh jika dipaksa."
"Kamu lagi ngapain? Kamu sibuk ya? Dari tadi pesanku belum kamu jawab,sih?"
"Aku kasih lihat ya, aku tadi nemu buku bagus. Bolehlah untukmu. Sepertinya kamu bakalan suka,"
Lalu aku mulai menebak-nebak kemana kira-kira arah ujung dari semua ini.
"Matahari, aku mau bicara. Tak akan lama, hanya sebentar. Aku pikir... Aku sayang kamu."
Kamu terdiam, tak memberikan reaksi, menyisakan jeda yang cukup lama.
"Terimakasih...." Akhirnya kamu menjawab.
Hanya itu? Tak ada kata selain itu?
 **
"Jadi?"
"Apa?"
"Lalu kita apa?"
"Aku nggak tahu."
"Kok nggak tahu.."
"Aku memang nggak tahu, aku bingung. Aku memintamu untuk menjadi sahabatku, bukan kekasihku."
"Lalu perasaanku?"
"Aku tahu, aku juga merasakan hal yang sama."
"Mengapa tak sekalian saja kita jadian?"
"Sudahlah kita biasa saja." jawabmu pendek.
 **Â
Saat itu kita menghabiskan berjam-jam bicara tentang rasa. Melarutkan gelap malam dalam perbincangan tentang cinta. Cinta yang tak tahu, apakah ada karena begitu seringnya bersama. Sungguh menyiksa, karena cinta harus dibelokkan arah, oleh terikatnya duniamu.Â
Kamu membiarkanku memegang tanganmu. Kau biarkan aku merasakan semua dirimu. Apakah ini bukan cinta?
 **
Lalu waktu berjalan seperti biasa. Pesan-pesan itu tetap mengalir seperti biasanya.
"Kamu sudah makan? Hati-hati, jangan telat makan."
"Kamu, bagaimana kabarmu hari ini?"
Duh, begitu menyiksa.
 **
"Lalu?"
"Apa?"
"Bagaimana ini?"
"Sudahlah, kita biasa saja."
"_______"
"Baiklah, aku percaya padamu."
 **
Aku pikir cinta memang mengadung  zat adiktif. Mengikat dan bagai candu.
Benar saja, cinta ini bagai candu, meski aku dan kamu berusaha untuk bersikap biasa, toh suatu saat akan mencandunya kembali, zat adiktif ini akan bereaksi.
Matahari, kita ini bersahabat kan? Tapi kenapa di selanya ada cinta.
Bip....! HP ku berkedip.
Ada suara di sana.
"Halo..."
"Gimana?"
"_______"
"Nggak tahu...? Jawab dong,"
"Kamu seperti kecanduan zat adiktif, deh," katamu.
Hidup memang harus tetap berjalan. Meski tiap pagi bertemu di lift yang sama, tak pernah ada satu katapun yang lepas darimu, juga aku.
Dan ketika zat adiktif ini mulai bereaksi, aku merasa seperti mencandumu. Dan itu menyiksaku.
Cinta itu zat adiktifnya!
Semarang, 14 Oktober 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H