Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi dan Jeda Kepergianmu yang Tak Lama

4 September 2017   21:41 Diperbarui: 9 September 2017   19:20 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Hening. Tak ada suara. Hanya detak jarum jam yang bergema bagai memekakkan telinga. 

"Jangan pernah melupakan aku," katamu.

"Tak akan pernah," jawabku.

"Aku pergi, untuk kembali, tentu saja untukmu. Setialah padaku,"

"Fian, aku tunggu janjimu, sampai kapanpun, aku tunggu, Fian, aku tunggu," jawabku, sambil terisak, merelakan kepergianmu.

Fian pergi, untuk kembali, untukku, hanya untukku.

***

Klik! 

Kamera mode onvideo mulai menyala. Lampu merah di atas pojok kanan berkedip, tanda kamera berputar.

"Taraaaaa...." kataku pada diriku sendiri. Aku mengambil cangkir kesayangan dan sendok kecil berpita pemberian Vita sahabatku yang sekarang tinggal di Jogja. Hem, mulailah dengan sesendok gula, kemudian kopi berpindah ke cangkir kesayangan.

"Tahu rasanya kopi? Pahit! Itu bila belum terseduh di cangkir dan tercampur gula. Bagaimana bila telah tersaji hangat, mengepulkan asap pertanda bahwa baru saja kopi dan gula terseduh, ditemani sepiring pisang goreng? Akan terasa enak, nikmat dan legit. Seperti kamu!" kataku. Sekali lagi, kata itu untuk diriku sendiri. 

Klik! 

Kamera kumatikan. Save. Video ini, akan aku kirimkan kepadamu. Nanti, saat jam makan siang. Saat kamu sedang istirahat, di sana, jauh dariku. 

Aku lalu tertawa dalam hati. Ingatanku kemudian melayang pada masa itu. Aneh, aku menyebutnya seperti itu. Kamu datang, pas, saat waktu minum kopi. Setiap aku menyeduh kopi dalam sebuah cangkir, wajahmu ada di sana. Walaupun telah teraduk, saat gula telah tercampur kopi dan menjadi satu kesatuan, wajahmu tetap ada, menempel di secangkir kopiku ini. Bahkan mungkin akan bertambah manis, walau tak perlu menambah gula kembali.

Pada saat itu. Kamu mungkin tak pernah merasa. Tapi aku pengamat sejatimu. Sejak awal kau masuk di kantor ini dan menggantikan Tomi yang duduk di meja ke lima, aku terpikat olehmu. Sorot matamu tajam seperti elang, tegap dengan baju rapi garis-garis biru. Hingga suatu hari, kita bertemu hampir bertubrukan di depan dispenser kantor, saat aku menyeduh kopi hitam kesukaanku.

"Kamu? Suka kopi juga?"

"Iya...."

"Kita belum kenalan ya? Padahal hampir seminggu aku di kantor ini."

"Iya...."

"Dari tadi iya mulu..." katamu sambil menyembunyikan senyum geli. 

Akhirnya, ngobrol ramai hingga tawa berderai selalu terdengar.

Lalu tentang kopi? Aku masih saja menyukainya. Setiap sore menjelang pulang kantor, aku selalu menyeduh kopi pada sebuah cangkir, cangkir yang sama, yang kuberi kode namaku: Fadi bawah cangkir.

Dan selalu, kamu, meski hanya bayangan wajahmu, hadir di sewaktuku minum kopi, pada secangkir kopiku, pada seduhan kopiku, lalu kuteguk pelan, kunikmati setiap tetes manisnya. Nikmat! Hingga tak terasa ada sapaan mengagetkanku.

"Fa, kau masih suka kopi?" terbengong aku hingga hampir tersedak dan batuk.

"Kamu....?" senyum itu mengembang, dari wajahmu.

"Maafkan aku Fa, mengagetkan mu. Boleh, aku juga menginginkan secangkir kopi sepertimu."

Hening tiba-tiba melanda dahsyat dan secangkir kopiku ini memang masih hangat, manis, legit, seperti kamu.

"Hei, kok malah ngelamun?"

"Eh, iya, tentu saja boleh, silakan," kataku sambil menyodorkan secangkir kopi untukmu.

"Fa, mengapa kamu masih suka kikuk sih, biasa saja dong."

"Iya..."

"Aku suka kamu!" Seketika pipiku memerah.

"Fian, kamu...?"

"Iya...."

Sejak itulah, kita jadian. Tak percaya, tapi, ah, sudahlah. Memang cinta datang tak pernah disangka. 

***

Lalu kamu pergi.

Hanya kopi yang masih setia menemaniku. Saat sedih, saat senang, saat galau, kopi mengobati rasa gundahku.

Bling!

Handphoneku berkedip. Pasti dari kamu.

"Jangan kebanyakan kopi, tak baik buatmu."

Ya, ya. Tapi kopi selalu setia. 

"Baik sayang, hanya tiga cangkir sehari,"  jawabku.

Bling!

Handphone berkedip kembali.

"Tapi sebaiknya, kamu kurangi lagi."

Ada jeda.

"Baik, aku usahakan dua cangkir sehari. Tapi nggak janji. Hehehe..."

Dan tetap saja, antara kamu dan kopi adalah berimbang. Antara kesetiaan dan cinta. Berpadu menjadi manis!

***

"Fa, aku kembali," katamu.

"Fian, aku sangat senang," jawabku.

"Fa, kamu tetap setia, kan?"

"Tentu, saja, setiaku hanya untukmu, Fian."

Tiba-tiba aku sedikit melupakan kopi. Cukup secangkir kopi untuk sehari. Selebihnya, untukmu Fian, tentu saja.

Klik!

Kamera mode on.

"Taraaaaa.... kopi memang manis jika berpadu dengan gula. Tapi lebih manis jika aku memandangmu. Iya, kamu!"

Klik. Off.

Semarang, 4 September 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun