Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RoseRTC] Maaf untuk San

16 September 2016   06:31 Diperbarui: 16 September 2016   07:13 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dokumen Wahyu Sapta

Angin Kering dan Lupakan Dia.Tahun Lalu. Angin kering berhembus, penuh debu dan panas. Berpusaran membawa daun-daun kering. Di pertengahan bulan September, masih saja musim kering dan panas mendera. Tumbuhan banyak yang kering dan rontok. Berdaun coklat dan layu. Pada saat begini, aku merindu hujan, meski sebentar, pasti akan membawa kesejukan yang cukup.

Baru saja aku dengarkan Sade bernyanyi By Your Side dari galery musik handphoneku. Liriknya bagus, suaranya aku suka. Sedikit jazzy dan berat. Lalu tiba-tiba ingat San. Bukankah ia pernah mengatakan bahwa akan selalu ada di sampingku, disaat kubutuh? Seperti pada syair lagu Sade. Tapi nyatanya, ia pergi. Janji itu, entah terbang ke mana, bersama angin yang membawa debu dan kering.

Lupakan! Lupakan! Kata hatiku. Aku telah melakukannya, tapi tak pernah berhasil. Berat rasanya melupakan seseorang yang pernah hadir dan peduli, lalu tiba-tiba, harus melupakannya.
 **

September Basah untuk San.Waktu Itu. Handphoneku menyala dan berbunyi bip!
dear Ara,
 Apakah masih ada tempat untukku? Bila masih, bergeserlah, aku ingin duduk disampingmu. Selama ini aku salah memandang cintamu. Kupikir, cintamu rapuh, karena seringnya ada perbedaan. Ternyata, aku salah! Aku kangen saat-saat seperti itu. Aku, kangen padamu.
Ara, maukah kamu memaafkanku? 
Salam,
San.

Aku termangu. Ada pesan dari San. Seketika mengelibat kisah-kisah lalu, saat San meragukan cintaku. Betapa sakitnya hatiku, saat San mengatakan, aku tak serius. Bagaimana bisa?

Dalam kehidupan bercintaku, hanya dua kali aku jatuh cinta. Dan itu pada satu orang yang sama. San. Brahmantya Sandi. Orang yang aku puja, meski ia kadang tak peduli. Aku selalu cinta. Tetapi ia tidak.

Oh, bila ini yang dinamakan cinta, maka aku pikir cinta itu semacam zat adiktif yang memiliki banyak cara untuk terus mengikat orang agar terus mencandunya. Cintaku pada San tak pernah berujung. Pada saat September yang basah, cinta tetap ada untuknya.

Cinta yang Aneh. Cinta menemukanku bersamanya dengan cara aneh dan dalam waktu tak beraturan. Tak terelak, cinta datang tiba-tiba, tanpa aba-aba. Begitu mengikat, hingga aku tak mampu membendungnya, bahkan sekarang mencandunya. Ada rasa yang mendesak agar aku selalu bisa berbincang dengannya.

Ia hadir begitu saja dalam hidupku. Sering bertemu di lift yang sama, saat menuju ruang kantor, meski terpaut satu lantai lebih atas. Senyumnya menawan.

Aku dan Dia.Dekat bagai sahabat, yang saling menceritakan berbagai peristiwa yang barusan dialami. Aku memahami apa yang dialaminya. Dia memahami apa yang aku alami. Meluncurlah pesan-pesan yang tiap hari datang.

"Kamu sudah makan? Hati-hati, jangan telat makan."

Atau...

"Kalau sudah mengantuk, istirahat dulu, jangan dipaksa, tidurlah barang lima menit."

"Kamu lagi ngapain? Kamu sibuk ya? Dari tadi pesanku belum kamu jawab?"

"Aku kasih lihat ya, tadi aku nemu buku bagus. Aku kirim ke ruanganmu ya. Lewat kurir."

Lalu aku mulai menebak-nebak kemana kira-kira arah ujung dari semua ini.

"Aku mau bicara. Tak akan lama, hanya sebentar. Aku pikir... Aku sayang kamu."

San terdiam, tak memberikan reaksi, menyisakan jeda yang cukup lama.

"Terimakasih...." Akhirnya ia menjawab. Hanya itu? Tak ada kata selain itu?

"Jadi?"

"Apa?"

"Lalu kita apa? Mengapa tak sekalian saja kita jadian?"

"Sudahlah kita biasa saja." jawabnya pendek.

**

Saat itu aku dan dia menghabiskan berjam-jam bicara tentang rasa. Melarutkan gelap malam dalam perbincangan tentang cinta. Cinta yang tak tahu, ke mana arah tujuannya. Sungguh menyiksa.

Aku membiarkannya memegang tanganku. Kubiarkan ia merasakan semua diriku. Mendengar nafas beratnya. Menahan beribu sesak karenanya.

**

Lalu waktu berjalan seperti biasa. Pesan-pesan itu tetap mengalir seperti biasanya.

"Kamu sudah makan? Hati-hati, jangan telat makan."

"Kamu, bagaimana kabarmu hari ini?"

Duh, begitu menyiksa!

"Lalu?"

"Apa?"

"Bagaimana ini?"

"Sudahlah, biasa saja."

"____"

"Baiklah, aku percaya padamu."

**
Aku pikir cinta memang mengadung zat adiktif. Mengikat dan bagai candu.
Benar saja, cinta ini bagai candu, meski aku sudah berusaha biasa, toh suatu saat, akan mencandunya kembali. Ketika ia bersikap romantis, sedikit saja, sontak zat adiktif bereaksi.
Bip! Handphoneku berkedip.
"Ara, sedang apa? Aku sangat sibuk, hingga tak sempat memberimu kabar."
Baik, aku mengerti, tapi aku tak ingin zat adiktif ada, sangat tak mengenakkan, sungguh tak nyaman.
"San, aku mengerti. Kapan kita bisa bertemu? Agar aku bisa sepenuhnya tahu, bagaimana dirimu."
"__________"
"Nggak tahu..."
Hidup memang harus tetap berjalan. Meski tiap pagi bertemu di lift yang sama, tak pernah ada satu katapun yang lepas dari mulutnya, juga aku. Ketika zat adiktif ini mulai bereaksi, aku merasa seperti mencandunya. Itu menyiksaku.

Cinta zat adiktifnya!

Maaf untuk San. Baiklah, jika memang aku harus memaafkannya. Meski tak mudah. San tak harus ungkapkan rasa cintanya. Ia bebas menentukan harinya, asal aku masih bisa menyapa dan bertemu dengannya. Kekuatan memaafkan itu, mengubah derita menjadi bahagia. Aku ingin bahagia.

Aku cinta San. Itu cukup!

Semarang, 16 September 2016.

Logo RTC
Logo RTC

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Romansa September RTC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun