"Bagaimana ini?"
"Sudahlah, biasa saja."
"____"
"Baiklah, aku percaya padamu."
**
Aku pikir cinta memang mengadung zat adiktif. Mengikat dan bagai candu.
Benar saja, cinta ini bagai candu, meski aku sudah berusaha biasa, toh suatu saat, akan mencandunya kembali. Ketika ia bersikap romantis, sedikit saja, sontak zat adiktif bereaksi.
Bip! Handphoneku berkedip.
"Ara, sedang apa? Aku sangat sibuk, hingga tak sempat memberimu kabar."
Baik, aku mengerti, tapi aku tak ingin zat adiktif ada, sangat tak mengenakkan, sungguh tak nyaman.
"San, aku mengerti. Kapan kita bisa bertemu? Agar aku bisa sepenuhnya tahu, bagaimana dirimu."
"__________"
"Nggak tahu..."
Hidup memang harus tetap berjalan. Meski tiap pagi bertemu di lift yang sama, tak pernah ada satu katapun yang lepas dari mulutnya, juga aku. Ketika zat adiktif ini mulai bereaksi, aku merasa seperti mencandunya. Itu menyiksaku.
Cinta zat adiktifnya!
Maaf untuk San. Baiklah, jika memang aku harus memaafkannya. Meski tak mudah. San tak harus ungkapkan rasa cintanya. Ia bebas menentukan harinya, asal aku masih bisa menyapa dan bertemu dengannya. Kekuatan memaafkan itu, mengubah derita menjadi bahagia. Aku ingin bahagia.
Aku cinta San. Itu cukup!
Semarang, 16 September 2016.
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Romansa September RTC.