[caption caption="Foto dokpri"][/caption]
"Mengapa kau memandangiku seperti itu?"
"Duh, marah ya?"
"Enggak, kau membuatku tersipu,"
"Lalu apa hubungannya?"
"Hem, kau selalu begitu,"
"Sudahlah, kita bukan musuh bukan?"
"Nyaris,"
"Kok nyaris?"
"Kau yang membuatnya begitu,"
"Eren?"
"Iya, Erenmu, membuatku nyaris patah hati!"
**
Dua Minggu Yang Lalu
Hatiku Nyaris Patah. Kamar kos yang telah kuhuni selama satu tahun terakhir ini, sebentar lagi kutinggalkan. Shasha teman satu kos membantu membereskan barang-barang milikku untuk dikemas. Sebentar lagi aku wisuda, jadi, aku mulai mengurangi barang untuk kukirim pulang. Mama meminta agar aku pulang, setelah selesai wisuda mencari pekerjaan tak jauh darinya dan menemaninya. Tak salah kan jika aku mengiyakan kemauan mama. Meski berat rasanya meninggalkan kota ini. Memori yang diberikan terlalu banyak. Termasuk.... dia!
Dimatanya aku tak bermakna apa-apa. Dia hanya inginkanku saat perlu. Dia tak pernah berubah.
Ah, sudahlah! Aku memang sudah berkeinginan untuk melupakan. Tapi, untuk saat ini, aku belum mampu. Butuh waktu.
Telepon Berdering. Nomor asing. Aku jarang sekali mau menerima nomor telepon yang belum kusimpan di handphone. Tapi entah kenapa, kali ini jariku menekan tombol hijau. Suara laki-laki, tentu saja aku mengenalnya. Mengapa nomornya ganti?
"Hai, apa kabar, Jena?"
"Kamu?" kataku terkejut.
"Iya, ini aku, maafkan aku, "
"Mengapa harus minta maaf? Kau sudah kumaafkan,"
"Duh, Jena, mengapa kau selalu galak? Nanti cepat tua loh,"
Pecahlah tawaku.Â
"Kita putus, Sandi,"
"Loh, kapan kita jadian?" serunya. Terdengar suara kerupuk yang diremuk dari seberang sana. Dia memang selalu usil. Apa saja dilakukan untuk bisa membuatku tertawa.
"Nggak lucu," kataku.
"Aku mencintaimu,"
Ada jeda waktu. Terlalu shock aku mendengar katanya barusan. Dia mencintaiku? Benarkah?
**
Saatnya Wisuda. Dia membawa bunga, untukku kah?
"Selamat Jena, kau lulus."
"Terimakasih,"
Ada Eren. Disampingnya. Hatiku remuk. Dia bilang cinta padaku, tetapi menghadiri wisudaku bersama Eren? Gadis cantik yang pernah dikenalkan padaku saat semester kemarin. Katanya mahasiswa baru, beda fakultas. Saat itu aku terlalu cemburu, hingga setelah kejadian itu, aku menghindar darinya. Lalu Sandi menghilang beberapa lama. Dan saat ini Eren masih berada di sampingnya? Untuk apa ia bilang, "aku mencintaimu" padaku? Hingga akupun menjawab, "aku juga mencintaimu, Sandi" padanya? Hampir air mataku tumpah, jika saja tak banyak orang.
Tapi....
Dibelakang dia, ada seorang ibu setengah baya. Berwajah ramah, mirip dengannya. Mamanya?
"Kenalkan Jena, ini mamaku. Mah, ini Jena." Lalu aku bersalaman dan mama Sandi mencium kedua pipiku.
"Oh, pantesan Sandi ribut terus mau memperkenalkan kamu ke mama. Kamu cantik sekali. Selamat ya, Jena." Sementara aku terbengong.Â
"Terimakasih, tante,"
Tak disangka, Eren mendekatiku. Aku mulai bete. Duh, mengapa juga ada dia? Ngapain juga dia mendekat padaku?
"Selamat ya, kak. Kakak cantik dengan baju pink," Eren mencium pipiku.
"Terimakasih, Eren,"
Lalu Eren dan mama Sandi membiarkan aku hanya berdua dengan Sandi.
"Eren?" tanyaku pada Sandi.
"Kenapa Eren?"
"Dia kekasihmu, bukan?"
Meledaklah tawa Sandi.
"Eren adikku,"
Sebuah kejutan yang tak disangka. Aku marah pada Sandi! Dia telah mengaduk aduk hatiku, tetapi, mengapa hatiku senang?
Â
Semarang, 26 Agustus 2016