[caption caption="Sumber Gambar: dokpri"][/caption]
Setiap Mei memasuki pertengahan, senyumnya melengkung lega, bersyukur, masih memiliki nafas panjang. Segera disiapkannya berbatang-batang lilin, lalu disematkan di wadah-wadah kecil. Memasak sedikit istimewa dari biasanya, lalu di tata dalam meja yang sebelumnya telah ada lilin-lilin yang menyala. Semua dilakukannya sendiri. Kemudian ia menelponku untuk menemani makan malam. Aku selalu siap untuknya. Aku mengerti, bahwa pertengahan bulan Mei selalu ada ritual khusus. Bukan ritual seperti lainnya, akan tetapi ritual itu semacam semangat bagi dirinya, bahwa ia masih memiliki kekuatan.Â
Kadang kadang aku berpikir, sebaiknya ia hidup denganku, agar aku tak repot lagi ke sini lalu pulang. Ah, tapi aku juga berpikir, wajar bila ia tak mau tinggal denganku, karena aku juga tak mau tinggal dengannya di sini.
"Pingkan, terimakasih kamu mau datang dan tak pernah bosan."
"Biasa saja Ara," kataku. "Aku mencintaimu,"
"Ya, ya, aku tahu. Aku juga mencintaimu."
"Selamat ulang tahun Ara, umurmu berkurang satu."
Ia mengangguk, lalu seperti biasa, ia memegang tanganku dan mengecupnya pelan. Jemari tangannya terasa dingin. Mungkin disebabkan oleh AC, membuatnya sedikit dingin. Tapi mungkin juga karena ia berada di dekatku dan sedikit gugup, hingga membuat tangannya dingin.
Wajahnya yang terlihat kokoh, sedikit lembut oleh sorot mata binarnya. Ia nampak bahagia.
"Aku bahagia berada di dekatmu,"
"Aku juga," sahutku cepat.
"Tapi mengapa kau tak mau tinggal?"
"Ah, sudahlah, tak akan selesai membahasnya. Aku sudah boleh makan belum? Aku lapar. Nampaknya masakanmu enak sekali, Ara. Kau memang pandai memasak. Aku menyukai masakanmu. Beda denganku, aku tak pandai memasak,"
"Tapi kau wanita tercantik yang aku kenal, kau Pingkanku." Tak terasa ada buliran air menetes dari mata Ara. Hanya setetes, tapi begitu sangat membuatku gugup. "Apakah aku telah menyakitinya?" batinku.
"Ara, kau minta hadiah apa dariku? Apapun, asal kau tak memintaku tinggal,"
Seperti tahun sebelumnya, ia hanya menggeleng. Aku tahu, ia masih berharap, bahwa suatu saat akan tinggal bersamanya. Hem....
Ara mulai mengambil sajian dari atas meja, lalu ditaruh di atas piringku. Dua roll sushi isi smoke beef kesukaanku.Â
Aku mengucapkan terimakasih kepadanya dan mulai menyantap sajian sushi. Masakan Ara tak ada duanya. Selalu istimewa.
"Ara, boleh aku bilang sesuatu?"
"Apa?"
"Mengapa sampai sekarang kau tak mencari penggantiku? Apakah aku terlalu istimewa untukmu?"
"Duh, pakai nanya, ya jelas dong kau istimewa, sayang," jawabnya sambil memencet hidungku. "Kau aneh Pingkan." Ara tertawa. Suara derai tawanya terdengar merdu. Hatiku merasa lega.
"Jadi?"
"Jadi apa?"
"Aku mau tinggal malam ini. Boleh?"
"Tentu saja boleh, bahkan aku sangat mengharapkannya." Ara mendadak berjingkrak kegirangan mendengar permintaanku. Selama ini, aku ragu, apakah ia masih menerimaku kembali di rumah ini atau tidak.
"Apakah ini hadiah ulang tahun untukku?" Aku mengangguk."Andai selamanya, Pingkan. Andai selamanya, aku akan suka. Maukah kau tinggal Pingkan, maukah?"
Aku tak menjawab pertanyaannya. Hanya tersenyum.
Lilin yang di hadapanku mendadak mati. Oh, telah ditiupnya. Mengapa tak menunggu aba-aba dariku?
"Aku telah mengucapkan satu permintaan dan kau tahu apa itu. Terimakasih Tuhan." kata Ara sambil memelukku erat.
***
Esok paginya, semua barang kesayanganku telah berpindah tempat, kembali ke tempat semula, seperti dulu, barang itu juga menghuni tempat ini.Â
Ya, pada saat itu, Â aku dan Ara saling egois. Hanya karena mempertahankan karier dan pekerjaan, memilih untuk tak tinggal bersama. Ikatan suci tetap ada, meski tak satu tempat. Dan di pertengahan Mei ini, aku memutuskan untuk kembali.
Untuk Ara lelakiku, untuk cintanya, untuk masakan istimewanya.
Â
:for you.
Â
Semarang, 16 Mei 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H